Sabtu, 21 Maret 2015

Misteri Tujuh Ranting Kayu

Sesuai dengan kewenangannya, Pengadilan Negeri Gartala, sudah menyelesaikan perkara antara Nek Asih dan Penguasa Hutan setempat. Atas permintaan Penguasa Hutan kepada pihak berwajib akhirnya Nek Asih dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara, atas tujuh bilah ranting kayu yang dibawanya pulang dari dalam hutan.

Peristiwa itu terjadi lima tahun lalu, sekitar akhir dari bulan Juni 2010, tempatnya di dalam hutan Lingpun, Desa Grobokan, Kabupaten Gartala.

Seperti biasa dilakukannya, sore itu Nek Asih ingin menanakkan nasi, dan memasak air untuk keperluan makan, sebelum malam benar-benar gelap. Namun sore itu Nek Asih tak bisa melakukan aktifitas seperti biasanya, tak ada kayu yang bisa dibakar untuk memasak. Jangankan kompor gas, boro-boro listrik, minyak tanah pun tak ada disini, bahkan Nek Asih sering membakar plastik untuk dijadikan bara pertama membakar kayu.

Akan tetapi Nek Asih, saat itu benar-benar lapar. Mau tidak mau dia harus mencari kayu bakar. Meski,  sebulan lalu dia pernah mendengar seorang kakek pernah tak kembali pulang saat mencari kayu bakar di dalam hutan.


Tak takut akan gelap Nek Asih memberanikan diri masuk ke dalam hutan, tak perlu jauh kedalam pikirnya, karena hari juga sudah mau gelap, Nek Asih hanya memungut tujuh bilah kayu, tak usah banyak, pikirnya yang penting malam ini aku bisa meneguk air yang sudah didihkan.

PENCURI
Dengan kriput di sana sini, dan jalan yang sedikit membungkuk, Nek Asih membopong pulang kayu bakarnya, Jalannya pun sudah satu-satu, sehasta demi sehasta. Kehidupan yang keras membuat Nek Asih tetap terlihat tampak gagah dalam berjalan. Nek Asih.

Menjelang halaman belakang rumahnya, peceran penampung air sisa sudah mulai kelihatan, namun ia masih di dalam hutan. Sedikit lagi Nek Asih akan sampai. Hus juga pikirnya. Tiba-tiba sontak enam orang laki-laki tambun berwajah sangar berlari kearahnya. Mereka berseragam. Sambil berteriak dan mencoba meraih pundak Nek Asik. Nek Asih pun terkejut. Seontak tujuh kayu tadi terjatuh dan menimpa kakinya yang sudah renta, dan tiap malam diserang rematik. “Pancen Maling!!!” (Dasar pencuri!!!)  Lelaki berseragam yang semakin sangar wajahnya itu berteriak. “Maling”. Sekali lagi dan akhirnya berulang kali. Nek Asih hanya bingung. Maling, dan Maling hanya itu yang dia dengar, menurutnya itu adalah perbuatan nista.

Lelaki lainya kemudian memugut ranting kayu “iki lo buktinya dee maling” (ini buktinya dia maling), Mendengar itu Nek Asih takut bukan kepalang. Namun Nek Asih seorang perempuan yang kuat dia menolok dibawa. “Masih ngeyel. Pancen Maling.” Ujar lelaki tambun itu sembari menarik lengan Nek Asih.

Nek Asih perempuan tua, namun dia kuat. Alam sudah memberitahunya bahwa dunia kejam. Semenjak kematian suaminya duapuluh tahun lalu, dia hidup sendiri. Anaknya pergi ke kota namun tak pernah kembali apalagi bertanya kabar padanya. Duapuluh tahun dia hadapi sendiri tanpa seorang lelaki yang mendampingi. 

Dia kuat, kadang makan hanya dari tetangga yang diada-adakan, namun dia bukan tipe perempuan manja yang gampang menyerah, tempat bermanja hanyalah pundak suaminya, dan kini pundak itu sudah tidak ada. Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari Nek Asih membuat gilingan dari akar bambu, yang di jual dengan menjajakannya dari satu rumah ke rumah. Tak jarang, selama satu bulan tak ada satupun pembeli. Sekrang rata-rata rumah di desanya sudah menggunakan batu dalam menggiling, bahkan satu dua rumah sudah memiliki blender, tak heran hanya beberapa rumah yang memiliki blender desa ini dialiri listrik hanya tiga jam.

Nek Asih tetap bertahan, namun tubuh tuanya tak bisaa berbohong. Kakinya terlalu lama berdiri dan akhirnya dia terduduk.  “Gepuk’en ae sisan, lak perlu lebokno penjara ben gak dibaleni neh.” (hajar aja kalau perlu dipenjarakan biar jera) Ujar salah satu dari enam orang laki-laki itu sembari memandang jengkel ke Nek Asih.

POLSEK GARTALA
Nek Asih bingung, kenapa dia di bawa ke polsek Gartala, “Pak polisi, lapo aku digowo merene. Aku lo nggak nyolong, oleh njaluk banyu pak pak, aku ate ngombe.” (Pak polisi, kenapa aku dibawa kemari, aku nggk nyolong, boleh minta air pak, aku haus). Polisi yang duduk di depan Nek Asih sambil mengetik hanya diam. Komandannya meminta kejahatan Nek Asih dibuatkan BAP. Polisi itu hanya tahu, tadi ada telpon yang diterima oleh atasannya.

“Pak, oleh njaluk banyu, aku ate ngombe” (Pak, boleh minta air, aku haus) Nek Asih kembali meminta, tak ada yang menghiraukan. Jam pun sudah menunjukkan pukul 10 malam, Nek Asih akhirnya disuruh pulang. Katanya dia sudah cukup dimintai keterangan. Sebelumnya Nek Asih dimintai tanda tangan. Nek Asih yang tidak mengerti tanda tangan akhirnya hanya membuhukan jempolnya yang sudah diberikan tinta di tas kertas yang ada tanda prisai dengan tiga bintang diatasnya.

Esok paginya,  Nek Asih masih bingung. Ia bangun siang karena tadi malam pertanyaan yang ditanyakan kepadanya membuat  pusing. Tak seorangpun di desanya yang peduli dengan kejadian tadi malam. Dia juga bingung mau bercerita kesiapa. Kini tiap malam Nek Asih hanya tidur dengan bertanya-tanya kenapa saya ada di kantor polisi, yang biasanya tempat orang jahat. Selama lima tahun di tiap malam menjelang tidurnya Nek Asih selalu bertanya-tanya.

TAHUN KE-LIMA
Pagi, senin pertama di bulan januari tahun 2015. Nek Asih terbangun setelah tadi malam dia kembali bermimpi tentang keadaan lima tathun lalu di kantor polisi. Rumah Nek Asih sudah ramai oleh penduduk kampung yang juga bingung. Ditemani kepala desa Nek Asih ditemui seorang anak muda berseragam, sepertinya dia seraog polisi. Nek Asih dibawa ke kantor polisi, sambil mengatuk dan bingung Nek Asih ikut saja.

Tapi, kali ini kantor polisinya berbeda. “Nek masih ingat, kalau lima tahun lalu nmencuri tujuh ranting kayu dari dalam hutan?” polisi muda tadi membangunkan lamunan Nek Asih. Mencuri?? Siapa yang mencuri pikir Nek Asih. “Aku lo nggk nyolong.” (Aku nggk mencuri, Pak) 

“Ini ada jam jempol nekek. Disini tertulis kalau nenek mengaku telah mencuri kayu.” Barulah Nek Asih mengerti lima tahu lalu ternyata dia dituduh mencuri. Air mata tak henti-hentinya mengucur dari mata Nek Asih. “aku dudung maling, aku duduk maling” (aku bukan maling, aku bukan malung) ucap Nek Asih berulang kali. Akhirnya Nek Asih harus tidur dalam penjara.


JAKARTA
Dibalik trali besi, Nek Asih bersedih, kehausan ingin minum. Dipenjara yang bauk dia tak bisa minum denga air yang ia masak dengan kayu bakar. Dia rindu dengan air yang beraroma asap kayu bakr.

Berita Nek Asih, sampai keseluruh negara, Kutonesia. Semua orang sibuk membicarakan Nek Asih. Dengar-dengar dari orang dipenjara. Kini Nek Asih sering masuk tipi. Nek Asih hanya bingung.

Beberapa orang dengan pengawalan ketat belakangan ini sering menemui Nek Asih. Nek Asih tetap saja bingung. Dia hanya ingin pulang, menanak nasi atau sekeder memasak air dengan kayu bakar.

Orang-orang berpakaian putih dengan tubuh yang wangi itu katanya berjanji akan memulangkan Nek Asih, tapi sampai sekrang dia tak juga bisa pulang.

Ramai, ramai sekali sekrang. Nama Nek Asih muncul disetiap tipi dan koran. Bahkan segerombolan orang dengan almamater universitas katanya menjadikan Nek Asih sebagai simbol ketidakadilan.

Negara huru hara kerana Nek Asih dan tuju kayu bakarnya.Nek Asih hanya ingin pulang. Jauh di sana ada yang tertawa. Misinnya berhasil. Biarlah Nek Asih dibela. Biar mereka lupa kini dolar Rp. 13.000.

1 komentar:

  1. Mana kita tahu kalau Ayo Goyang Dumang itu upaya pengalihan isu yang disokong Tim Konspirasi. Mana kita tahu kalau Duo Serigala itu pun misi pemecah konsentrasi yang dibidani Tim Konspirasi. Mana kita tahu kalau Musim Batu Akik itu juga hasil trik biar perhatian kita teralihkan dari pidana mati anak, eksekusi Bali Nine, nenek Asyani, dana siluman APBD Jakarta, kontrak Blok Mahakam, sidang MK tentang privatisasi air dan BPJS, sampai soal kriminalisasi KPK. Kadang aku ngos-ngosan baca koran setiap pagi. Beritanya macam marathon. Hampir klimaks semua, tegang. Setegang dan sengos-ngosan kalian melihat goyang dribble!

    BalasHapus