Sabtu, 01 April 2017

Ilusi Kemakmuran, Sebuah Dilema Pembangunan



Penolakan aktifitas pertambangan kian masif, aksi demontrasi terjadi di daerah-daerah di Indonesia. Awalnya dimulai dari aksi solidaritas atas pengorbanan Ibu Patmi menolak Pabrik Semen di depan Istana. Kini Ia berpulang, namun semangat penolakan kian tak terbendung

Pengorbanan mempertahankan hak atas tanah dan lingkungan yang baik sudah berkali-kali terjadi. Di Lumajang Salim Kancil meregang nyawa dibantai sekelompok preman saat menolak aktifitas tambang pasir besi. Di Kalimantan Timur bentrok antar masyarakat dan perusahaan sudah tak terhitung. Bahkan, total 24 anak sudah meninggal di kolam bekas galian tambang.

Dari kejadian-kejadian ini sudah selayaknya kita mempertanyakan, bahwa ada yang salah dari pengelolaan sumber daya alam, khususnya industri pertambangan. Beberapa upaya sudah dilakukan, bahkan dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, konflik antar perusahaan tambang dengan masyarakat tersus terjadi.


Indonesia berada pada kelompok negara dengan produksi atau cadangan sumber daya tertinggi di dunia untuk komoditas seperti timah, batubara, tembaga, nikel, bauksit, emas dan juga perak. Dengan cadangan besar, tentu akan terus menarik minat investasi. Data BKPM menunjukkan minat investasi pertambangan masih menduduki peringkat tertinggi dari tahun ke tahun di sektor primer, dengan wilayah dan jumlah proyek yang terus bertambah. Kementrian ESDM mencatat total perusahan pemegang izin usaha pertambangan saat ini berjumlah  9.721 dan 3.286 diantaranya tidak mendapat predikat clean and clear dengan kata lain bermasalah.

Tingginya minat Investasi akan semakin meningkatkan potensi gesekan konflik di daerah wilayah pertambangan. Hal ini terjadi dikarenakan, kapitalisasi sumber daya alam tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat di lingkar tambang.

Pada akhir tahun akhir tahun 2016 lembaga penelitian Article 33 merilis hasil penelitian tentang fenomena Kutukan Sumber Daya Alam. Fenomena yang terjadi terjadi, ketika suatu negara yang dianugerahi kekayaan sumber daya alam, justru memiliki kesejahteraan masyarakat yang buruk.

Penelitian ini menunjukkan bahwa daerah-daerah yang kaya sumber daya alam memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi (18,36%), Pertumbuhan Ekonomi perkapita paling rendah (3,74%) dan juga Indeks pembangunan manusia paling rendah (68,86). Artinya, keuntungan besar dari industri pertambangan tidak menyentuh level paling bawah. Daerah-daerah kaya sumber daya alam, adalah daerah dengan Dana Bagi Hasil (DBH) paling besar, DBH menempatkan daerah-daerah ini pada kapasitas fiskal yang tinggi. Namun tetap tidak memiliki arti pada pembangunan manusianya.

Tidak heran jika kegiatan usaha pertambangan selalu mendapatkan penolokan dari berbagai pihak. Bisnis pertambangan hanya memberikan untung kepada pengusaha dan negara, sedangkan masyarakat hidup dengan lingkungan yang sudah tercemar, polusi udara, dan lubang-lubang bekas tambang. Ruang-ruang hidup seperti sungai, danau, dan hutan, berubah menjadi barang ekonomi terbatas dan berbayar. Air menjadi mahal, dan akses semakin jauh.

Wacana Pembangunan
Pemanfaatan sumber daya alam adalah upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan pendapatan pemerintah pusat dan daerah. Bahkan Fiskal negara ini sangat bergantung pada industri ekstraktif. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat Tahun 2015 penerimaan industri ekstraktif berkontribusi sekitar 30% terhadap total penerimaan negara per tahun, dan sektor minerba menyumbang penerimaan pajak yang terus meningkat setiap tahunnya.  Mulai dari Rp29,3 triliun pada 2007 hingga mencapai Rp70,5 triliun pada 2011. Begitupula dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terus naik signifikan dari Rp8,7 triliun pada 2007 menjadi Rp24,2 triliun pada 2011.

Fakta ini memaksa pemerintah untuk menempatkan industri pertambangan sebagai pendorong pembangunan. Eksploitasi atas sumber daya alam kemudian dimaklumi atas nama pembangunan. Akhirnya pemerintah akan mengupayakan para penanam modal di sektor ini untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam berusaha. Bisa kita lihat bagaimana Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) baik pusat dan daerah diciptakan untuk pelayanan yang paripurna, namun rendah kualitas pengawasan dan pengendalian. Inilah yang terjadi pada izin-izin industri ekstraktif, baik itu izin eksploitasi dan pendirian pabrik. Analisis dampak lingkungan (ANDAL), dengan mudah diterima sebagai prasyarat mendapatkan izin pokok, tanpa melihat lebih rinci persoalan lingkungan dan sosial yang terjadi.

Inilah yang terjadi di Kabupaten Rembang. Izin lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2012 oleh pemerintah provinsi Jawa Tengah dinyatakan dicabut oleh Mahkamah Agung (MA). Izin lingkuangan ini dianggap  cacat prosedur dan melanggar ketentuan lain, terutama keputusan presidan No 26 Tahun 2011 tentang perlindungan kawasan cekungan air tanah Watu Putih. Namun, Putusan MA ini diingkari oleh Pemprov Jawa Tengah dengan diterbitkannya Izin Lingkungan Baru.

Kemenangan gugatan warga Rembang, bukan gugatan yang pertama kalinya dimenangkan. Sebelumya pada tahun 2012, Gerakan Samarinda Mengugar juga memenangkan gugatan warga negara atas kelaiaian pemerintah dalam menerbitkan izin usaha pertambangan.

Hyper Kapitalisasi yang dilakukan pemerintah menggusur niat dasar penggunaan sumberdaya alam yang ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keberpihakan pemerintah pusat pada penanaman modal mengkebiri hak-hak dasar warga negara yang seharusnya paling utama dipenuhi oleh negara.

Catatan Penutup
Industi Ekstarktif memang investasi besar namun sarat akan risiko ekonomi, sosial, politik, serta lingkungan. Pemerintah sebagai regulator harus mampu menampilkan tata kelola industri yang mendukung cita-cita Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Pola-pola penerbitan izin asal jebret  harus dievaluasi. Pengusaha dan pemerintah harus menempatkan masyarakat terdampak pada posisi nomor satu dalam pengambilan kebijakan, dan menyerahkan keputusan kepada mereka atas hak keberlangsungan hidup.

Pemerintah pusat dan daerah juga harus segera keluar dari rezim eksploitasi sumber daya alam. Sektor industri ekstraktif mempunyai waktu terbatas untuk menjadi penyumbang pendapatan daerah dan negara. Sehingga pusat dan daerah harus segera melakukan diversifikasi ekonomi, guna mengantisipasi hilangnya pendapatan.

Negara yang bijak akan menginvestasikan hasil sumber daya alamnya ke dalam aset produktif sebagai jalan keluar dari jebakan ilusi kemakmuran. Dengan begitu, tidak akan ada lagi korban yang berjatuhan demi membelak hak nya atas tanah, air, dan kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar