Penolakan aktifitas pertambangan
kian masif, aksi demontrasi terjadi di daerah-daerah di Indonesia. Awalnya
dimulai dari aksi solidaritas atas pengorbanan Ibu Patmi menolak Pabrik Semen
di depan Istana. Kini Ia berpulang, namun semangat penolakan kian tak
terbendung
Pengorbanan mempertahankan hak atas tanah dan lingkungan yang baik sudah berkali-kali
terjadi. Di Lumajang Salim Kancil meregang nyawa dibantai sekelompok preman
saat menolak aktifitas tambang pasir besi. Di Kalimantan Timur bentrok antar
masyarakat dan perusahaan sudah tak terhitung. Bahkan, total 24 anak sudah
meninggal di kolam bekas galian tambang.
Dari kejadian-kejadian ini sudah
selayaknya kita mempertanyakan, bahwa ada yang salah dari pengelolaan sumber
daya alam, khususnya industri pertambangan. Beberapa upaya sudah dilakukan,
bahkan dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, konflik antar
perusahaan tambang dengan masyarakat tersus terjadi.
Indonesia berada pada kelompok negara dengan produksi atau cadangan
sumber daya tertinggi di dunia untuk komoditas seperti timah, batubara,
tembaga, nikel, bauksit, emas dan juga perak. Dengan cadangan besar,
tentu akan terus menarik minat investasi. Data BKPM menunjukkan minat investasi
pertambangan masih menduduki peringkat tertinggi dari tahun ke tahun di sektor
primer, dengan wilayah dan jumlah proyek yang terus bertambah. Kementrian ESDM
mencatat total perusahan pemegang izin usaha pertambangan saat ini
berjumlah 9.721 dan 3.286 diantaranya
tidak mendapat predikat clean and clear
dengan kata lain bermasalah.
Tingginya minat Investasi akan semakin
meningkatkan potensi gesekan konflik di daerah wilayah pertambangan. Hal ini
terjadi dikarenakan, kapitalisasi sumber daya alam tidak berdampak pada
kesejahteraan masyarakat di lingkar tambang.
Pada akhir tahun akhir tahun 2016
lembaga penelitian Article 33 merilis hasil penelitian tentang fenomena Kutukan
Sumber Daya Alam. Fenomena yang terjadi terjadi, ketika suatu negara yang dianugerahi kekayaan sumber daya alam, justru memiliki kesejahteraan masyarakat yang buruk.
Penelitian ini menunjukkan bahwa daerah-daerah yang kaya sumber daya alam
memiliki tingkat kemiskinan paling tinggi (18,36%), Pertumbuhan Ekonomi
perkapita paling rendah (3,74%) dan juga Indeks pembangunan manusia paling
rendah (68,86). Artinya, keuntungan besar dari industri pertambangan tidak
menyentuh level paling bawah. Daerah-daerah kaya sumber daya alam, adalah
daerah dengan Dana Bagi Hasil (DBH) paling besar, DBH menempatkan daerah-daerah
ini pada kapasitas fiskal yang tinggi. Namun tetap tidak memiliki arti pada
pembangunan manusianya.
Tidak heran jika kegiatan usaha pertambangan selalu mendapatkan penolokan
dari berbagai pihak. Bisnis pertambangan hanya memberikan untung kepada
pengusaha dan negara, sedangkan masyarakat hidup dengan lingkungan yang sudah
tercemar, polusi udara, dan lubang-lubang bekas tambang. Ruang-ruang hidup seperti
sungai, danau, dan hutan, berubah menjadi barang ekonomi terbatas dan berbayar.
Air menjadi mahal, dan akses semakin jauh.
Wacana Pembangunan
Pemanfaatan sumber daya alam adalah upaya mendorong pertumbuhan ekonomi,
serta meningkatkan pendapatan pemerintah pusat dan daerah. Bahkan Fiskal negara
ini sangat bergantung pada industri ekstraktif. Kementrian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) mencatat Tahun 2015 penerimaan industri
ekstraktif berkontribusi sekitar 30% terhadap total penerimaan negara per tahun, dan sektor minerba menyumbang
penerimaan pajak yang terus meningkat setiap tahunnya. Mulai dari Rp29,3 triliun pada 2007 hingga mencapai Rp70,5 triliun
pada 2011. Begitupula dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terus naik signifikan dari
Rp8,7 triliun pada 2007 menjadi Rp24,2 triliun pada 2011.
Fakta ini memaksa pemerintah untuk menempatkan industri pertambangan sebagai
pendorong pembangunan. Eksploitasi atas sumber daya alam kemudian dimaklumi
atas nama pembangunan. Akhirnya pemerintah akan mengupayakan para penanam modal
di sektor ini untuk mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam berusaha. Bisa kita
lihat bagaimana Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) baik pusat dan daerah
diciptakan untuk pelayanan yang paripurna, namun rendah kualitas pengawasan dan
pengendalian. Inilah yang terjadi pada izin-izin industri ekstraktif, baik itu
izin eksploitasi dan pendirian pabrik. Analisis dampak lingkungan (ANDAL),
dengan mudah diterima sebagai prasyarat mendapatkan izin pokok, tanpa melihat
lebih rinci persoalan lingkungan dan sosial yang terjadi.
Inilah yang terjadi di Kabupaten Rembang. Izin lingkungan yang
diterbitkan pada tahun 2012 oleh pemerintah provinsi Jawa Tengah dinyatakan
dicabut oleh Mahkamah Agung (MA). Izin lingkuangan ini dianggap cacat prosedur dan melanggar ketentuan lain,
terutama keputusan presidan No 26 Tahun 2011 tentang perlindungan kawasan
cekungan air tanah Watu Putih. Namun, Putusan MA ini diingkari oleh Pemprov
Jawa Tengah dengan diterbitkannya Izin Lingkungan Baru.
Kemenangan gugatan warga Rembang, bukan gugatan yang pertama kalinya
dimenangkan. Sebelumya pada tahun 2012, Gerakan Samarinda Mengugar juga
memenangkan gugatan warga negara atas kelaiaian pemerintah dalam menerbitkan
izin usaha pertambangan.
Hyper Kapitalisasi yang dilakukan pemerintah menggusur niat
dasar penggunaan sumberdaya alam yang ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Keberpihakan pemerintah pusat pada penanaman modal mengkebiri hak-hak
dasar warga negara yang seharusnya paling utama dipenuhi oleh negara.
Catatan Penutup
Industi Ekstarktif memang investasi besar namun sarat akan risiko
ekonomi, sosial, politik, serta lingkungan. Pemerintah sebagai regulator harus
mampu menampilkan tata kelola industri yang mendukung cita-cita Pasal 33 Ayat 3
UUD 1945. Pola-pola penerbitan izin asal jebret
harus dievaluasi. Pengusaha dan
pemerintah harus menempatkan masyarakat terdampak pada posisi nomor satu dalam
pengambilan kebijakan, dan menyerahkan keputusan kepada mereka atas hak keberlangsungan
hidup.
Pemerintah pusat dan daerah juga harus segera keluar dari rezim
eksploitasi sumber daya alam. Sektor industri ekstraktif mempunyai waktu
terbatas untuk menjadi penyumbang pendapatan daerah dan negara. Sehingga pusat
dan daerah harus segera melakukan diversifikasi ekonomi, guna mengantisipasi hilangnya
pendapatan.
Negara yang bijak akan menginvestasikan hasil sumber daya alamnya ke
dalam aset produktif sebagai jalan keluar dari jebakan ilusi kemakmuran. Dengan
begitu, tidak akan ada lagi korban yang berjatuhan demi membelak hak nya atas
tanah, air, dan kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar