Zahra apa kabar? Lama aku
tidak berkabar padamu. Setelah sepuluh tahun terakhir, Hari ini aku
beranikan diri kembali menulis surat. Karena, berita tentang peristiwa itu sering sekali muncul di media massa. Sepuluh tahun, sudah banyak yang berubah
Zahra. Begitu juga dengan kampung yang selalu kau ceritakan dalam
surat-surat mu.
Kau bercerita bagaimana tiap malam kau mendengar desing peluru bagai kembang api di malam tahun baru. Kau mendengar sirine ambulan bersahut sahutan dengan adzan dari meunasah, bahkan lebih dari lima kali sehari. Tak bisa kubayangkan bagaimana hidupmu di tengah perang, yang sepengetahuanku perang hanya ada di film, kalau ada pihak Amerika merekalah pemenang.
Hanya satu yang membuat aku senang, saat membaca bagaimana Agama menjadi budaya yang tak lepas dari keseharian kalian di kampung. Tapi agama yang membudaya itu kini, hanya kiasan saja. Hanya sekedar produk hukum. Begitulah yang aku ketahui saat dua tahun lalu aku ke kampung halaman mu.
Kita selalu seru saat berbicara hal demi hal tentang agama, meski aku berasal dari keluarga Kristen fanatik, dan Batak pula. Sedangkan kau, perempuan muslim bersuku Aceh. Islam tak hanya Agama bagimu tapi jalan hidup, katamu. Saat itu pula kita bertukar cerita tentang bagaimana aku dan agamaku, serta kehidupan sekitar ku. Kau dengan agamamu dan kehidupan disekitar mu.
Kau tahu Zahra, hingga saat ini mereka masih saja ribut perihal ucap-mengucap selamat natal.
Ah... indahnya kita dulu. Hal itu Tak pernah jadi masalah bagi kita.
Saat aku merayakan natal kau ucapkan selamat natal, saat kau berlebaran aku ucapkan selamat lebaran. Panjang surat kita membahas tentang ini. Kau dan aku sepakat. Beragama itu jauh berbeda dengan ber-Tuhan. Agama tak lebih campur tangan manusia menstrukturkan Tuhan. Maka ada simbol natal sebagai kelahiran Yesus Kristus. Meski sampai saat ini tak ada kesepakatan bahwa Dia lahir pada tanggal 25 Desember. Begitu juga dengan keyakinanmu. Tradisi perayaan lebaran bukanlah ritual agama. Sebelumnya kau sudah menjelaskan sholat idul fitrinya, tentu saja itu ritual ketuhanan. Kita bersepakat, hari besar hanyalah simbolik kultural saja. jadi sah saling mengucap. bukan seperti kata mereka, dimana kau dianggap mengimani Tuhan ku karena mengucap "Selamat Natal", begitu juga sebaliknya aku.
Kadang aku nakal, berujar "Kasihan Tuhan tenang-tenang di surga, tapi dibawa-bawa manusia dalam urusan duniawi, persoalan yang dibuat sendiri oleh manusia" dengan tegas kau mengatakan untuk aku kembali mengukuhkan Iman "iman mu menyelamtakan mu, yakini apa yang kau percayai sebagai sebuah kebenaran"
Ah.. aku suka sekali saat-saat itu, Zahra.
Tak disangka, bertahun-tahun kita saling berkirim surat, cerita roman menyusup di surat-surat kita. Aku jatuh cinta padamu Zahra. Kusadari dengan pasti kau merasakan hal yang sama. Tapi bagaimana mungkin, kau muslimah yang taat dari keluarga Aceh yang fanatik. Aku seorang Kristen dari keluarga Batak.
25 Desember 2004, aku memberanikan diri menemuimu. Melalui jalur berastagi, aku melewati perbatasan menyusuri pantai barat aceh. Tanah ini memang subur Zahra. Kampung halaman ku sayuran tumbuh bak bunga, menuju tempat mu di suguhi panorama Samudra Hindia yang biru.Tapi, keindahan itu di rusak dengan dentuman senjata demi senjata.
Di perbatasan Aceh Sumatera Utara aku hampir mati. Sekelompok orang yang diduga GAM menghentikan mini bus L 300 yang aku tumpangi. Aku kristen dan saat itu katanya aku adalah musuh. Kami dibariskan satu persatu. KTP diperiksa. Saat gilaran ku. Pemuda sangar itu berteriak. "kafir.... kafir.... kafir." Aku mati kedinginan, moncong AK 47 senjata mutakhir buatan rusia itu tepat di ujung kepala.
"Hantaaaammmmm" dari kejahuan aku dengar orang berteriak, dan benar, secepat suara itu sampai, kepalaku sudah menghempas aspal jalan. Mereka menyeretku dengan wajah menempel di aspal hitam. Perlahan ku rasakan dingin mengalir dari plipis. Darah mengucur menutup mata. Aku tak melihat apapun, yang ada hanya Zahra dan setiap kata dalam surat mu. "Aku mengeluh tentang kondisi Bangsa Aceh, tapi harapan tentang Aceh yang menjadi bagian dari satu bangsa Indonesia harus tetap dijaga. Aku percaya Aceh akan damai." malam itu di ujung senjata aku berdoa dengan nama Tuhanku dan Tuhanmu. Agar tuhan mengabulkan harapan mu. Zahra.
Malam itu juga, segrombolan pria bersenjata itu membawaku pergi. Sayup-sayup aku dengar mereka akan membawaku ke Meulaboh. Mau menjadikanku sandera untuk dimintai tebusan ke orang tua ku di Medan. Ternyata aku tak tahan dengan pukulan, tendangan bertubi-tubi dari manusia yang memperjuangkan tanah kelahiran mu untuk merdeka, katanya merdeka dari Bangsa Jawa. Aku jatuh pingsan.
***
Adzan Subuh, yang kau bilang merdu itu membangunkan ku. Orang-orang tadi berdiskusi hebat, sesekali menatap sinis ke arah ku. Seseroang dari mereka meludah, sembari melepas ikatan yang membuat tanganku nyaris tersayat. dia menedang bokongku dengan sekuat tenaga. sontak saja, aku kembali tersungkur mencium tanah.
Kau. Ya kau. Kau Zahra. Ternyta kau memapah ku berdiri. Sontak saja. Darah mengalir deras. Aku mencoba mengkatifkan seluruh sistem imun. Semua sakit ku hilang Zahra. Ah... zahra. Ya kau zahra. Perempuan Aceh itu.
Ayah mu sebagai Geucik Gampong memberikan jaminan membebaskanku. Tertatih-tatih aku menuju rumah mu. Seluruh kampung menatap aneh. Perempuan seperti mu memapah hampir memelukku. Namun kau tak peduli zahra. Kau begitu kuat. Tak ada air mata. Tapi aku tahu kau menagis sejadi jadinya di sana. Mereka sudah menguras air mata mu sejak kau lahir.
Matahari mulai terlihat, senyum mu menemaniku. Paparan sinar matahari yang menembus celah jendela terpencar dari jilbabmu. kau indah sekali. Zahra. "Berbaringlah, nanti kita bicara," katamu. Aku pun tersenyum mengiyakan.
Di luar rumah mu kedengaran ramai. Kau keluar dan kembali terburu-buru. Kau sampaikan kabar bahwa kata orang kampung, air laut mengering. Semua bisa berjalan jauh ke arah laut. "Zahra, semua orang berteriak, coba kauihat lah dulu." Kau menjawab singkat "tak perlu Riga"
Sontak aku bingung saat kau memintaku memelukmu. "Peluk aku, akan aku sampaikan pada Tuhan, kau dan aku mencintai atas nama Tuhan yang sesungguhnya satu"
Hitungan detik, saat aku memelukmu aku tak tahu apa yang terjadi.
Dua tahun setelah itu aku baru melihat cahaya dunia ini. Koma. Sembari memulihkan ingatan. Mereka bercerita bahwa aku mengambang di tengah laut 30 hari lamanya. hal itu terjadi karena, ada gulungan ombang setingga delapan meter menyapu kampung. Tsunami, begitu istilah itu aku ketahui setelah pulih.
Aku tak pernah lagi mendengar kabar mu sejak saat itu. Hingga kini tidak tahu apakah kau selamat dari sapuhan air laut yang mengamuk itu. Aku yakini, kau sudah sampaikan kalimat, langsung pada Tuhan. Hari itu saat kita berpelukan, Tuhan kita tetaplah satu. Esa.
Zahra kini sudah banyak yang berubah, apa kabarmu Zahra?. Kirim lah surat. Aku masih menantimu. Zahra.
Kau bercerita bagaimana tiap malam kau mendengar desing peluru bagai kembang api di malam tahun baru. Kau mendengar sirine ambulan bersahut sahutan dengan adzan dari meunasah, bahkan lebih dari lima kali sehari. Tak bisa kubayangkan bagaimana hidupmu di tengah perang, yang sepengetahuanku perang hanya ada di film, kalau ada pihak Amerika merekalah pemenang.
Hanya satu yang membuat aku senang, saat membaca bagaimana Agama menjadi budaya yang tak lepas dari keseharian kalian di kampung. Tapi agama yang membudaya itu kini, hanya kiasan saja. Hanya sekedar produk hukum. Begitulah yang aku ketahui saat dua tahun lalu aku ke kampung halaman mu.
Kita selalu seru saat berbicara hal demi hal tentang agama, meski aku berasal dari keluarga Kristen fanatik, dan Batak pula. Sedangkan kau, perempuan muslim bersuku Aceh. Islam tak hanya Agama bagimu tapi jalan hidup, katamu. Saat itu pula kita bertukar cerita tentang bagaimana aku dan agamaku, serta kehidupan sekitar ku. Kau dengan agamamu dan kehidupan disekitar mu.
Kau tahu Zahra, hingga saat ini mereka masih saja ribut perihal ucap-mengucap selamat natal.
Ah... indahnya kita dulu. Hal itu Tak pernah jadi masalah bagi kita.
Saat aku merayakan natal kau ucapkan selamat natal, saat kau berlebaran aku ucapkan selamat lebaran. Panjang surat kita membahas tentang ini. Kau dan aku sepakat. Beragama itu jauh berbeda dengan ber-Tuhan. Agama tak lebih campur tangan manusia menstrukturkan Tuhan. Maka ada simbol natal sebagai kelahiran Yesus Kristus. Meski sampai saat ini tak ada kesepakatan bahwa Dia lahir pada tanggal 25 Desember. Begitu juga dengan keyakinanmu. Tradisi perayaan lebaran bukanlah ritual agama. Sebelumnya kau sudah menjelaskan sholat idul fitrinya, tentu saja itu ritual ketuhanan. Kita bersepakat, hari besar hanyalah simbolik kultural saja. jadi sah saling mengucap. bukan seperti kata mereka, dimana kau dianggap mengimani Tuhan ku karena mengucap "Selamat Natal", begitu juga sebaliknya aku.
Kadang aku nakal, berujar "Kasihan Tuhan tenang-tenang di surga, tapi dibawa-bawa manusia dalam urusan duniawi, persoalan yang dibuat sendiri oleh manusia" dengan tegas kau mengatakan untuk aku kembali mengukuhkan Iman "iman mu menyelamtakan mu, yakini apa yang kau percayai sebagai sebuah kebenaran"
Ah.. aku suka sekali saat-saat itu, Zahra.
Tak disangka, bertahun-tahun kita saling berkirim surat, cerita roman menyusup di surat-surat kita. Aku jatuh cinta padamu Zahra. Kusadari dengan pasti kau merasakan hal yang sama. Tapi bagaimana mungkin, kau muslimah yang taat dari keluarga Aceh yang fanatik. Aku seorang Kristen dari keluarga Batak.
25 Desember 2004, aku memberanikan diri menemuimu. Melalui jalur berastagi, aku melewati perbatasan menyusuri pantai barat aceh. Tanah ini memang subur Zahra. Kampung halaman ku sayuran tumbuh bak bunga, menuju tempat mu di suguhi panorama Samudra Hindia yang biru.Tapi, keindahan itu di rusak dengan dentuman senjata demi senjata.
Di perbatasan Aceh Sumatera Utara aku hampir mati. Sekelompok orang yang diduga GAM menghentikan mini bus L 300 yang aku tumpangi. Aku kristen dan saat itu katanya aku adalah musuh. Kami dibariskan satu persatu. KTP diperiksa. Saat gilaran ku. Pemuda sangar itu berteriak. "kafir.... kafir.... kafir." Aku mati kedinginan, moncong AK 47 senjata mutakhir buatan rusia itu tepat di ujung kepala.
"Hantaaaammmmm" dari kejahuan aku dengar orang berteriak, dan benar, secepat suara itu sampai, kepalaku sudah menghempas aspal jalan. Mereka menyeretku dengan wajah menempel di aspal hitam. Perlahan ku rasakan dingin mengalir dari plipis. Darah mengucur menutup mata. Aku tak melihat apapun, yang ada hanya Zahra dan setiap kata dalam surat mu. "Aku mengeluh tentang kondisi Bangsa Aceh, tapi harapan tentang Aceh yang menjadi bagian dari satu bangsa Indonesia harus tetap dijaga. Aku percaya Aceh akan damai." malam itu di ujung senjata aku berdoa dengan nama Tuhanku dan Tuhanmu. Agar tuhan mengabulkan harapan mu. Zahra.
Malam itu juga, segrombolan pria bersenjata itu membawaku pergi. Sayup-sayup aku dengar mereka akan membawaku ke Meulaboh. Mau menjadikanku sandera untuk dimintai tebusan ke orang tua ku di Medan. Ternyata aku tak tahan dengan pukulan, tendangan bertubi-tubi dari manusia yang memperjuangkan tanah kelahiran mu untuk merdeka, katanya merdeka dari Bangsa Jawa. Aku jatuh pingsan.
***
Adzan Subuh, yang kau bilang merdu itu membangunkan ku. Orang-orang tadi berdiskusi hebat, sesekali menatap sinis ke arah ku. Seseroang dari mereka meludah, sembari melepas ikatan yang membuat tanganku nyaris tersayat. dia menedang bokongku dengan sekuat tenaga. sontak saja, aku kembali tersungkur mencium tanah.
Kau. Ya kau. Kau Zahra. Ternyta kau memapah ku berdiri. Sontak saja. Darah mengalir deras. Aku mencoba mengkatifkan seluruh sistem imun. Semua sakit ku hilang Zahra. Ah... zahra. Ya kau zahra. Perempuan Aceh itu.
Ayah mu sebagai Geucik Gampong memberikan jaminan membebaskanku. Tertatih-tatih aku menuju rumah mu. Seluruh kampung menatap aneh. Perempuan seperti mu memapah hampir memelukku. Namun kau tak peduli zahra. Kau begitu kuat. Tak ada air mata. Tapi aku tahu kau menagis sejadi jadinya di sana. Mereka sudah menguras air mata mu sejak kau lahir.
Matahari mulai terlihat, senyum mu menemaniku. Paparan sinar matahari yang menembus celah jendela terpencar dari jilbabmu. kau indah sekali. Zahra. "Berbaringlah, nanti kita bicara," katamu. Aku pun tersenyum mengiyakan.
Di luar rumah mu kedengaran ramai. Kau keluar dan kembali terburu-buru. Kau sampaikan kabar bahwa kata orang kampung, air laut mengering. Semua bisa berjalan jauh ke arah laut. "Zahra, semua orang berteriak, coba kauihat lah dulu." Kau menjawab singkat "tak perlu Riga"
Sontak aku bingung saat kau memintaku memelukmu. "Peluk aku, akan aku sampaikan pada Tuhan, kau dan aku mencintai atas nama Tuhan yang sesungguhnya satu"
Hitungan detik, saat aku memelukmu aku tak tahu apa yang terjadi.
Dua tahun setelah itu aku baru melihat cahaya dunia ini. Koma. Sembari memulihkan ingatan. Mereka bercerita bahwa aku mengambang di tengah laut 30 hari lamanya. hal itu terjadi karena, ada gulungan ombang setingga delapan meter menyapu kampung. Tsunami, begitu istilah itu aku ketahui setelah pulih.
Aku tak pernah lagi mendengar kabar mu sejak saat itu. Hingga kini tidak tahu apakah kau selamat dari sapuhan air laut yang mengamuk itu. Aku yakini, kau sudah sampaikan kalimat, langsung pada Tuhan. Hari itu saat kita berpelukan, Tuhan kita tetaplah satu. Esa.
Zahra kini sudah banyak yang berubah, apa kabarmu Zahra?. Kirim lah surat. Aku masih menantimu. Zahra.
Jakarta, 24 Desember 2014
(2 Hari Sebelum 10 Tahun Bencana Tsunami)
bal... duuh mau nangis bacanya. Ini kenapa gak ada yang komentar seeehhh. Bagus kali loohh.
BalasHapusUsahlah berkirim surat. Hati zahra masih menggenggammu erat..
Ini kisah nyata siapa Bro?
BalasHapusGreat story :)
BalasHapus