Senin, 05 Januari 2015

Tata Kelola Pertambangan Batubara di Ibu Kota Propinsi Kalimantan Timur


Pertumbuhan dan industrialisasi di seluruh sektor, terutama di Negara-negara Asia mendorong konsumsi bahan baku mineral yang semakin besar. Dalam menanggapi tren peningkatan konsumsi listrik serta kebutuhan standar hidup atas pertumbuhan populasi penduduk dunia serta industri yang semakin meningkat, banyak Negara harus memacu pembanguan pembangkit listrik seperti pembangkit listrik tenaga uap dan gas (PLTU/PLTGU). Menurut hasil penelitian Badan Dunia Coal Institute menyatakan, hamper 50% dari PLTU di seluruh dunia saat ini memakai bahan mineral dari batubara. Semua hal ini berkaitan erat dengan keamanan pasokan mineral energy batubara yang kesinambungan. Maka kedudukan Indonesia sebagai Negara penghasil steam coal unatam dunia menduduki faktor penting.

Indonesia melalui kementerian ESDM memiliki hak dalam menentukan wilayah usaha pertambangan (WUP) batubara di Indonesia, hal ini tertuang dalam UU No 4 Tahun 2009. Penetapan wilayah ini diaminkan oleh wilayah kabupaten/kota yang masuk dalam WUP dengan membuat kebijakan yang mengatur pertambangan batubara di wilayahnya.

Era desentralisasi membuka peluang bagi pemerintah daerah (Pemda) untuk turut mengatur aktifitas pertambangan. Tugas dan wewenang yang dimiliki pemda dalam hal pertambangan salah satunya tertuang di UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Pemda berhak mengeluarkan Izin usaha Pertambangan (IUP), menetapkan luas dan batas WIUP serta  melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pasca tambang.



Kota Samarinda merupakan salah satu wilayah yang ditetapkan kementerian ESDM masuk dalam wilayah usaha pertambangan, dengan itu Pemkot Samarinda mengeluarkan kebijakan pengelolaan pertambangan batubara sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Dinas Pertambangan dan Energi Kota Samarinda mencatat hingga tahun 2014, ada 5 IUP dalam bentuk PKP2B yang sepenuhnya dikeluarkan oleh pemerintah pusat, 1 IUP Pemerintah Propinsi, dan 63 IUP yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah Kota Samarinda. Dengan luasan masing-masing 33,48% PKP2B, 3,25% IUP Propinsi, 38,37% IUP Kota. Total dari luas wilayah pertambangan terhadap luas wilayah Kota Samarinda sudah mencapai angka 71%.

Sebagai Ibu Kota Propinsi Kalimantan timur, Samarinda memiliki karakteristik berbeda dengan daerah kabupaten/kota lainnya di Kalimantan Timur yang juga memiliki potensi pertambangan batubara. Jumlah penduduk Samarinda merupakan paling tinggi di Kalimantan timur, hasil sensus tahun 2010, jumlah penduduk Samarinda 727.500 jiwa. Jumlah penduduk yang besar dan wilayah usaha pertambangan yang luas, membuat ruang terbuka hijau Kota Samarinda saat hanya sekitar 5%, sedangkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Pentaan Ruang mengamanatkan ruang terbuka hijau minimal 30% dari wilayah kota. Melihat hal ini, bentang alam atau kondisi ekologis Samarinda sudah menutup kemungkinan diterbitkannya lagi Izin usaha pertambangan, yang secara langsung akan menambah luasan wilayah usaha pertambangan.

Hasil produksi batubara Kota Samarinda juga terus menurun setiap tahunya, dengan rata-rata penurunan 627.302 Ton/pertahun. Menurut Dinas Pertambangan Batubara dan Energi, pemegang IUP yang masih benar-benar beroperasi hanya sekitar 20 perusahaan. Hal ini kembali menunjukkan bahwa usaha pertambangan di Kota Samarinda sudah mencapai masa “matahari tenggelam”, diprediksi kurang dari 10 tahun lagi tidak akan ada lagi batubara yang diangkut dari wilayah Kota Samarinda.

Aktifitas pertambangan di kota dengan sebutan kota tepian ini sudah lebih dari satu dasawarsa dan menyisakan permasalahan yang masih terus berlangsung. Permasalah ini tentu saja bermula dari proses penerbitan izin usaha pertambangan batubara tanpa mempertimbangkan pemenuhan syarat-syarat yang harus dipenuhi pemohon, seperti kesanggupan dari segi keuangan dan pengelolaan dampak lingkungan, bahkan banyak perusahaan pemegang IUP yang tidak memiliki dokumen AMDAL dan NPWP dan Jaminan Reklamasi. Perusahaan yang diberikan IUP meski tidak memiliki Jaminan Reklamasi, menyebabkan banyak lubang bekas tambang ditinggalkan begitu saja. Hal ini berdampak jangka panjang terhadap kondisi lingkungan hidup Kota Samarinda yang terus memburuk.

Dari hasil pemeriksaan BPK menunjukkan salah satu kelemahan pemberian ijin pertambangan dikarenakan tidak adanya prosedur dan tata kerja formal yang mengatur secara rinci tentang proses pemberian ijin, tugas dan fungsi unit kerja yang terlibat. Hal ini mengakibatkan kekurangjelasan mekanisme pemberian ijin usaha pertambangan di Kota Samarinda.

Pemerintah kota menerbitkan IUP secara sembarangan, tanpa memperhatikan atau mempersyaratkan dokumen Amdal dan jaminan reklamasi menjadi dasar munculnya permasalahan pertambangan yang terjadi hingga saat ini. Perlahan, titik banjir di Kota Samarinda terus bertambah, hingga saat ini tercatat terdapat 35 titik banjir dengan potensi jumlah Kepala Keluarga (KK) terdampak sejumlah 20.106 KK. Bencana banjir bandang juga terjadi di beberapa titik, yang hal ini desebabkan jebolnya tanggul/kolam bekas tambang. Jumlah penderita Inpeksi Saluran Pernapasan Akut di Kota Samarinda juga terus meningkat, hingga tahun 2010 tercatat 17.811 kasus atau 34% dari sepuluh besar penyakit di Kota Samarinda, menurut kajian Badan Pemberdayaan Propinsi Kalimantan Timur Penyakit ISPA yang terjadi di Kota Samarinda lebih disebabkan oleh debu yang muncul akibat aktifitas pertambangan.

Tidak direklamasinya lubang pasca tambang, juga menyebabkan dampak sosilogis. Tercatat delapan anak meninggal, akibat tenggelam di kolam bekas tambang. Tumpang tindih antara pemukiman dan pertambangan juga semakin mempertegas konflik antara masyarakat yang tinggal disekitar tambang dengan perusahaan pertambangan. Di Samarinda banyak pertambangan yang bersinggungan kurang dari 500 meter dari daerah pemukiman.


Kebijakan baru, Masalah Baru.
Lebih dari satu dasawarsa aktifitas pertambangan di Kota Tepian, akhirnya pemerintah daerah mencoba menata dengan mengeluarkan kebijakan pertambangan dalam bentuk peraturan daerah No 12 Tahun 2013. Namun, dikeluarkannya Perda ini tidak sepenuhnya menjawab permasalahan pertambangan di Samarinda. Perda ini masih memungkinka Pemkot Samarinda mengeluarkan IUP batubara, dengan kondisi ekologis kota samarinda yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk diterbitkannya izin baru.
Prosesur penerbitan IUP dalam Perda ini juga bertentangan dengan UU No 4 Tahun 2009 dimana proses penerbitan IUP dengan mekanisme lelang tidak diatur, Perda ini juga bertentangan dengan Surat Edaran Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM No 02 E/30/DJB/2012 yang tidak memerbolehkan diberlakukannya Surat Keterangan Asal Barang (SKAB). Namun, Perda ini masih mencantumkan SKAB sebagai prasyarat pengangkutan batubara, klausul ini juga muncul tiba-tiba pada pasal megenai CSR, SKAB digunakan sebagai alat ukur besarnya CSR yang harus dialokasikan oleh perusahaan. SKAB sendiri berpeluang menimbulkan pungli  dan biaya ekonomi tinggi, karena tidak ada prosedur jelas tata cara pengurusannya. Dinas Pertambangan dan Energy Kota Samarinda memang tidak ada pungutan dalam proses pengurusan SKAB. SKAB sendiri tidak diatur dalam peraturan sendiri hanya dikeluarkan secara d’facto saja, namun dilapangan menurut pengusaha proses pengangkutan batubara yang tidak memiliki SKAB bisa dikenakan pungli sekitar 75 juta rupiah, jika tidak pengangkutan batubara tidak bisa berjalan.
Menurut, catatan KPPOD yang melakukan review terhadap perda ini dengan menggunakan 14 kriteria kajian regulasi peraturan daerah, maka Perda ini bernilai minus di tiga kriteria yaitu, kriteria relevansi yuridis, kriteria keutuhan wilayah ekonomi nasional/prinsip free internal trade, dan kriteria kejelasan prosedur. Produk hukum terbaru yang mengatur pertambangan ini tidak hanya melanggar beberapa ketentuan pemerintah pusat mengenai pertambangan batubaru, Perda ini juga tidak sesuai dengan aspirasi dan kondisi lingkungan Kota Samarinda. Jika melihat kebelakang, proses penyusunan Perda ini memiliki banyak keterbatasan dan tidak mengindahkan beberapa kaidah dalam proses penyusunan Perda.
Pertama, Naskah Akademik Perda ini tidak menggambarkan kondisi kekinian Kota Samarinda. Sehingga, setidaknya Perda tidak lagi mengatur regulasi perizinan baru dalam bentuk IUP Eksplorasi dan IUP Eksploitasi, namun lebih diarahkan untuk membangun pola regulasi yang bertujuan untuk menertibkan keberadaan izin yang sudah dikeluarkan dan meningkatkan pengawasan terhadap aktifitas pertambangan. Naskah akademik Perda ini lebih menjabarkan kembali isi UU Minerba tanpa melihat kondisi Kota Samarinda.
Kedua, dalam proses penyusunannya Perda ini minim partisipasi. RDPU hanya dilakukan satu kali, DPRD tidak pernah melakukan uji publik terhadap ranperda, dan tidak melibatkan dinas terkait dalam hal ini Dinas Pertambangan Batubara dan Energi dalam penyusunannya. Ketua Balegada DPRD Kota Samarinda Periode 2009-2014 menyatakan bahwa keterbatasan dana menjadi penyebab Perda ini minim pertisipasi.  


“Pada periode lalu, untuk 26 ranperda hanya satu kali kunjungan kerja karena untuk membatasi anggaran setiap alat kelengkapan dewan hanya diberikan satu kali kunjungan kerja. Karena kendala dana, Perda ini hanya dilakukan satu kali RDPU, jadi kalau Perda ini kurang dari sempurna ya tentu saja, tapi tujuan kami adalah untuk menertibkan kegiatan pertambangan di Samarinda.”


Minimnya pertisipasi dan naskah akademik yang tidak menggambarkan kondisi objektif Kota Samarinda menyebabkan Perda ini tidak menjadi solusi permasalahan pertambangan, Dinas Pertambangan Batubara dan Energi sebagai pelaksana Perda ini tidak menggunakannya sebagai landasan hukum pengawasan, dan beranggapan bahwa Perda ini tidak akan berlaku, dengan disahkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Perda ini juga menuai kritik dari kalangan Akademis dan aktifis lingkuangan di Samarinda dengan melakukan eksaminasi publik terhadap Perda dan direkomendasika untuk dicabut.
Selain menerbitkan Perda No. 12 Tahun 2013, Perda lainnya yang berkaitan langsung dengan aktivitas pertambangan batubara adalah Perda mengenai Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Samarinda. Di awal tahun 2014 pemerintah daerah menerbitkan Perda No. 2 tahun 2014. Perda yang bertujuan menata ruang dan wilayah ini secara langsung akan mengatur aktifitas pertambangan di Kota Samarinda. Berdasarkan perda sebelumnya, yaitu Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor  12 tahun 2002 tentang Revisi Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Samarinda 1994-2004, maka lokasi tambang batubara hanya diperbolehkan di Kelurahan Siring, Kecamatan Samarinda Utara seluas 7.583 hektar yang tertera jelas di Pasal 22. Jika setengahnya yang dialokasikan maka sudah jelas, luasan tambang yang ada di Samarinda seharusnya 3.791,5 hektar. Idealnya, tambang yang ada di Samarinda ini tidak sepenuhnya diekspoitasi. Namuan disesuaikan dengan Perda yang berlaku. Menanggapi ini Dinas Cipta Karya dan Tata Kota (DCKTK) menanggapi bahwa tidak ada hubungan aktifitas pertambangan dengan DCKTK. Dokumen RT/RW dalam menetapkan perizinan terkait tata ruang dan wilayah pemerintah kota berdasarkan SK Walikota Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Tahun 2002.
Pada Perda RT/RW terbaru  Kota Samarinda yaitu Perda. No 12 Tahun 2014, bukan memberikan pembatasan atas aktifitas pertambangan, namun memberikan keleluasaan kepada pemerintah kota untuk secara bebas menerbitkan IUP. Pada pasal 47 yang membagi kawasan peruntukan di samarinda, tidak secara jelas mengatur wilayah peruntukan pertambangan batubara. Ayat (5) point b. pada pasal ini menyebutkan
“b. kawasan pertambangan kelompok batubara yang meliputi:
  1. batubara yang ijinnya dikeluarkan oleh Kementerian ESDM terletak di Kecamatan Sambutan, Kecamatan Sungai Pinang, Kecamatan Samarinda Utara, Kecamatan Samarinda Ulu, Kecamatan Sungai Kunjang, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kecamatan Samarinda Seberang, Kecamatan Palaran dan Kecamatan Samarinda Ilir; dan 
  2. batu bara yang ijinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Samarinda.”
Angka dua, di poit b pada pasal 47 memberikan kewenangan pada pemerintah kota untuk menerbitkan izin diseluruh wilayah Kota Samarinda.
Hal ini juga tergambar dari pernyataan Kepala Bidang Penataan Kota Dina Cipta Karya dan Tata Kota, Kota Samarinda, yang menyatakan
“Seluruh ruang kosong di Samarinda diperbolehkan dilakukan adanya pertambangan, dengan tetap mempertimbangkan dokumen amdal. Dinas CKTK tidak terlibat dalam proses penerbitan izin karena kami memang tidak memiliki wewenang dalam hal itu. kantor walikoa ini pun jika ditemukan potensi batubara di bahwanya dan bisa dipindahkan, maka diperbolehkan untuk ditambang, urusan kami adalah setelah ditambang dikembalikan ke kondisi semula.”
Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Samarinda yang baru saja disahkan dan logika pembangunan dari pemerintah kota samarinda menunjukkan bahwa garis besar perencanaan pembangunan tunduk dan mengikut pada rencana pertambangan batubara. Perda RTRW dan kebijakan tata kota yang mengikut pada batubara terlihat dimana wilayah pertambangan adalah wilayah yang dikeluarkan IUPnya oleh Pemerintah Kota.
Perselisihan pembangunan dengan rencana tata ruang dan wilayah bukanlah hal tidak pernah terjadi. Banyak daerah yang bahkan meberikan peluang untuk perubahan peruntukan dari suatu kawasan. Namun, rencana tata ruang dan wilayah yang tidak secara jelas mengatur kawasan pertambangan akan mengakibatkan kerugian sendiri pada pembangunan ekonomi samarinda. Kawasan perekonomian akan tidak mendapatkan kepastian wilayah, disebabkan bebasnya pertambangan batubara beroperasi.
Tidak bisa dipungkiri, sektor batubara sudah memberikan dorongan dan kontribusi terhadap perekonomian Samarinda, seperti dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, dan tumbuhnya sektor pendukung seperti jasa dan usaha. Namun, perlu dipertimbangkan bahwa kontribusi sektor batubara sangat terbatas bahkan Dinas Pertambangan Batubara dan Energi Kota Samarinda memprediksi produksi batubara akan berakhir tidak lebih dari sepuluh tahun yang akan datang.
Melihat kondisi ini, mulai dari bentang wilayah yang tidak memungkinkan lagi memperluas wilayah pertambangan, hasil produksi batubara yang terus menurun, dampak pertambangan terhadap lingkungan hidup yang terus memburuk, baiknya pemerintah kota mulai merevisi kebijakan di sektor pertambangan.
Pemerintah Kota Samarinda harus segera mengubah cara pandang pola pembangunan. Kebijakan pembangunan harus memberikan kondisi kota yang lebih layak huni. Pengaturan harus dibuat untuk memperkuat pengawasan, dan mencabut izin perusahan dengan aktifitas pertambangan yang merusak. Karena kualitas hidup warga Kota Samarinda yang lebih baik, akan lebih mampu memberikan kontribusi mewujudkan visi Kota Samarinda sebagai kota jasa, industri, Perdagangan dan pemukiman yang berwawasan lingkungan.
dipublish juga di KPPODBrief, Edisi Oktober s/d November 2014

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259

      Hapus