Pertumbuhan
dan industrialisasi di seluruh sektor, terutama di Negara-negara Asia mendorong
konsumsi bahan baku mineral yang semakin besar. Dalam menanggapi tren peningkatan
konsumsi listrik serta kebutuhan standar hidup atas pertumbuhan populasi
penduduk dunia serta industri yang semakin meningkat, banyak Negara harus
memacu pembanguan pembangkit listrik seperti pembangkit listrik tenaga uap dan
gas (PLTU/PLTGU). Menurut hasil penelitian Badan Dunia Coal Institute
menyatakan, hamper 50% dari PLTU di seluruh dunia saat ini memakai bahan
mineral dari batubara. Semua hal ini berkaitan erat dengan keamanan pasokan
mineral energy batubara yang kesinambungan. Maka kedudukan Indonesia sebagai
Negara penghasil steam coal unatam dunia menduduki faktor penting.
Indonesia
melalui kementerian ESDM memiliki hak dalam menentukan wilayah usaha pertambangan
(WUP) batubara di Indonesia, hal ini tertuang dalam UU No 4 Tahun 2009. Penetapan
wilayah ini diaminkan oleh wilayah kabupaten/kota yang masuk dalam WUP dengan
membuat kebijakan yang mengatur pertambangan batubara di wilayahnya.
Era desentralisasi membuka peluang bagi
pemerintah daerah (Pemda) untuk turut mengatur aktifitas pertambangan. Tugas
dan wewenang yang dimiliki pemda dalam hal pertambangan salah satunya tertuang
di UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Pemda berhak mengeluarkan Izin
usaha Pertambangan (IUP), menetapkan luas dan batas WIUP serta melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
reklamasi lahan pasca tambang.
Kota Samarinda merupakan salah satu wilayah
yang ditetapkan kementerian ESDM masuk dalam wilayah usaha pertambangan, dengan
itu Pemkot Samarinda mengeluarkan kebijakan pengelolaan pertambangan batubara sesuai
dengan kewenangan yang dimiliki. Dinas Pertambangan dan Energi Kota Samarinda
mencatat hingga tahun 2014, ada 5 IUP dalam bentuk PKP2B yang sepenuhnya
dikeluarkan oleh pemerintah pusat, 1 IUP Pemerintah Propinsi, dan 63 IUP yang
sudah dikeluarkan oleh pemerintah Kota Samarinda. Dengan luasan masing-masing
33,48% PKP2B, 3,25% IUP Propinsi, 38,37% IUP Kota. Total dari luas wilayah
pertambangan terhadap luas wilayah Kota Samarinda sudah mencapai angka 71%.
Sebagai Ibu Kota Propinsi Kalimantan timur, Samarinda
memiliki karakteristik berbeda dengan daerah kabupaten/kota lainnya di Kalimantan
Timur yang juga memiliki potensi pertambangan batubara. Jumlah penduduk Samarinda
merupakan paling tinggi di Kalimantan timur, hasil sensus tahun 2010, jumlah
penduduk Samarinda 727.500 jiwa. Jumlah penduduk yang besar dan wilayah usaha
pertambangan yang luas, membuat ruang terbuka hijau Kota Samarinda saat hanya
sekitar 5%, sedangkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Pentaan Ruang mengamanatkan
ruang terbuka hijau minimal 30% dari wilayah kota. Melihat hal ini, bentang
alam atau kondisi ekologis Samarinda sudah menutup kemungkinan diterbitkannya
lagi Izin usaha pertambangan, yang secara langsung akan menambah luasan wilayah
usaha pertambangan.
Hasil produksi batubara Kota Samarinda juga
terus menurun setiap tahunya, dengan rata-rata penurunan 627.302 Ton/pertahun.
Menurut Dinas Pertambangan Batubara dan Energi, pemegang IUP yang masih
benar-benar beroperasi hanya sekitar 20 perusahaan. Hal ini kembali menunjukkan
bahwa usaha pertambangan di Kota Samarinda sudah mencapai masa “matahari
tenggelam”, diprediksi kurang dari 10 tahun lagi tidak akan ada lagi batubara
yang diangkut dari wilayah Kota Samarinda.
Aktifitas pertambangan di kota dengan sebutan
kota tepian ini sudah lebih dari satu dasawarsa dan menyisakan permasalahan
yang masih terus berlangsung. Permasalah ini tentu saja bermula dari proses
penerbitan izin usaha pertambangan batubara tanpa mempertimbangkan pemenuhan
syarat-syarat yang harus dipenuhi pemohon, seperti kesanggupan dari segi
keuangan dan pengelolaan dampak lingkungan, bahkan banyak perusahaan pemegang
IUP yang tidak memiliki dokumen AMDAL dan NPWP dan Jaminan Reklamasi. Perusahaan
yang diberikan IUP meski tidak memiliki Jaminan Reklamasi, menyebabkan banyak
lubang bekas tambang ditinggalkan begitu saja. Hal ini berdampak jangka panjang
terhadap kondisi lingkungan hidup Kota Samarinda yang terus memburuk.
Dari hasil pemeriksaan BPK menunjukkan salah
satu kelemahan pemberian ijin pertambangan dikarenakan tidak adanya prosedur
dan tata kerja formal yang mengatur secara rinci tentang proses pemberian ijin,
tugas dan fungsi unit kerja yang terlibat. Hal ini mengakibatkan
kekurangjelasan mekanisme pemberian ijin usaha pertambangan di Kota Samarinda.
Pemerintah kota menerbitkan IUP secara sembarangan,
tanpa memperhatikan atau mempersyaratkan dokumen Amdal dan jaminan reklamasi
menjadi dasar munculnya permasalahan pertambangan yang terjadi hingga saat ini.
Perlahan, titik banjir di Kota Samarinda terus bertambah, hingga saat ini
tercatat terdapat 35 titik banjir dengan potensi jumlah Kepala Keluarga (KK)
terdampak sejumlah 20.106 KK. Bencana banjir bandang juga terjadi di beberapa
titik, yang hal ini desebabkan jebolnya tanggul/kolam bekas tambang. Jumlah
penderita Inpeksi Saluran Pernapasan Akut di Kota Samarinda juga terus
meningkat, hingga tahun 2010 tercatat 17.811 kasus atau 34% dari sepuluh besar
penyakit di Kota Samarinda, menurut kajian Badan Pemberdayaan Propinsi Kalimantan
Timur Penyakit ISPA yang terjadi di Kota Samarinda lebih disebabkan oleh debu
yang muncul akibat aktifitas pertambangan.
Tidak direklamasinya lubang pasca tambang,
juga menyebabkan dampak sosilogis. Tercatat delapan anak meninggal, akibat
tenggelam di kolam bekas tambang. Tumpang tindih antara pemukiman dan
pertambangan juga semakin mempertegas konflik antara masyarakat yang tinggal
disekitar tambang dengan perusahaan pertambangan. Di Samarinda banyak
pertambangan yang bersinggungan kurang dari 500 meter dari daerah pemukiman.
Kebijakan
baru, Masalah Baru.
Lebih dari satu dasawarsa
aktifitas pertambangan di Kota Tepian, akhirnya pemerintah daerah mencoba
menata dengan mengeluarkan kebijakan pertambangan dalam bentuk peraturan daerah
No 12 Tahun 2013. Namun, dikeluarkannya Perda ini tidak
sepenuhnya menjawab permasalahan pertambangan di Samarinda. Perda ini masih
memungkinka Pemkot Samarinda mengeluarkan IUP batubara, dengan kondisi ekologis
kota samarinda yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk diterbitkannya izin
baru.
Prosesur penerbitan IUP dalam
Perda ini juga bertentangan dengan UU No 4 Tahun 2009 dimana proses penerbitan
IUP dengan mekanisme lelang tidak diatur, Perda ini juga bertentangan dengan Surat Edaran Direktorat
Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM No 02 E/30/DJB/2012 yang tidak memerbolehkan diberlakukannya Surat
Keterangan Asal Barang (SKAB). Namun, Perda ini masih mencantumkan SKAB sebagai
prasyarat pengangkutan batubara, klausul ini juga muncul tiba-tiba pada pasal
megenai CSR, SKAB digunakan sebagai alat ukur besarnya CSR yang harus
dialokasikan oleh perusahaan. SKAB sendiri berpeluang menimbulkan pungli dan biaya ekonomi tinggi, karena tidak ada
prosedur jelas tata cara pengurusannya. Dinas Pertambangan dan Energy Kota
Samarinda memang tidak ada pungutan dalam proses pengurusan SKAB. SKAB sendiri
tidak diatur dalam peraturan sendiri hanya dikeluarkan secara d’facto saja, namun dilapangan menurut
pengusaha proses pengangkutan batubara yang tidak memiliki SKAB bisa dikenakan
pungli sekitar 75 juta rupiah, jika tidak pengangkutan batubara tidak bisa
berjalan.
Menurut, catatan KPPOD yang
melakukan review terhadap perda ini dengan menggunakan 14 kriteria kajian regulasi
peraturan daerah, maka Perda ini bernilai minus di tiga kriteria yaitu,
kriteria relevansi yuridis, kriteria keutuhan wilayah ekonomi nasional/prinsip free internal trade, dan
kriteria kejelasan prosedur. Produk hukum terbaru yang mengatur pertambangan
ini tidak hanya melanggar beberapa ketentuan pemerintah pusat mengenai
pertambangan batubaru, Perda ini juga tidak sesuai dengan aspirasi dan kondisi
lingkungan Kota Samarinda. Jika melihat kebelakang, proses penyusunan Perda ini
memiliki banyak keterbatasan dan tidak mengindahkan beberapa kaidah dalam
proses penyusunan Perda.
Pertama, Naskah Akademik Perda ini tidak menggambarkan
kondisi kekinian Kota Samarinda. Sehingga, setidaknya Perda tidak lagi mengatur regulasi perizinan baru dalam bentuk IUP
Eksplorasi dan IUP Eksploitasi, namun lebih diarahkan untuk membangun pola
regulasi yang bertujuan untuk menertibkan keberadaan izin yang sudah dikeluarkan dan meningkatkan
pengawasan terhadap aktifitas pertambangan. Naskah akademik Perda ini lebih
menjabarkan kembali isi UU Minerba tanpa melihat kondisi Kota Samarinda.
Kedua, dalam proses penyusunannya Perda ini minim
partisipasi. RDPU hanya dilakukan satu kali, DPRD tidak pernah melakukan uji publik
terhadap ranperda, dan tidak melibatkan dinas terkait dalam hal ini Dinas
Pertambangan Batubara dan Energi dalam penyusunannya. Ketua Balegada DPRD Kota
Samarinda Periode 2009-2014 menyatakan bahwa keterbatasan dana menjadi penyebab
Perda ini minim pertisipasi.
“Pada periode lalu, untuk 26 ranperda hanya satu kali kunjungan kerja karena untuk membatasi anggaran setiap alat kelengkapan dewan hanya diberikan satu kali kunjungan kerja. Karena kendala dana, Perda ini hanya dilakukan satu kali RDPU, jadi kalau Perda ini kurang dari sempurna ya tentu saja, tapi tujuan kami adalah untuk menertibkan kegiatan pertambangan di Samarinda.”
Minimnya pertisipasi dan naskah
akademik yang tidak menggambarkan kondisi objektif Kota Samarinda menyebabkan Perda
ini tidak menjadi solusi permasalahan pertambangan, Dinas Pertambangan Batubara
dan Energi sebagai pelaksana Perda ini tidak menggunakannya sebagai landasan
hukum pengawasan, dan beranggapan bahwa Perda ini tidak akan berlaku, dengan
disahkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Perda ini juga
menuai kritik dari kalangan Akademis dan aktifis lingkuangan di Samarinda
dengan melakukan eksaminasi publik terhadap Perda dan direkomendasika untuk
dicabut.
Selain menerbitkan Perda No. 12
Tahun 2013, Perda lainnya yang berkaitan langsung dengan aktivitas pertambangan
batubara adalah Perda mengenai Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Samarinda.
Di awal tahun 2014 pemerintah daerah menerbitkan Perda No. 2 tahun 2014. Perda
yang bertujuan menata ruang dan wilayah ini secara langsung akan mengatur
aktifitas pertambangan di Kota Samarinda. Berdasarkan perda sebelumnya,
yaitu Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 12 tahun 2002 tentang Revisi
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Samarinda 1994-2004, maka lokasi tambang
batubara hanya diperbolehkan di Kelurahan Siring, Kecamatan Samarinda Utara
seluas 7.583 hektar yang tertera jelas di Pasal 22. Jika setengahnya yang
dialokasikan maka sudah jelas, luasan tambang yang ada di Samarinda seharusnya 3.791,5
hektar. Idealnya, tambang yang ada di
Samarinda ini tidak sepenuhnya diekspoitasi. Namuan disesuaikan dengan Perda
yang berlaku. Menanggapi ini Dinas Cipta Karya dan Tata Kota (DCKTK) menanggapi
bahwa tidak ada hubungan aktifitas pertambangan dengan DCKTK. Dokumen RT/RW
dalam menetapkan perizinan terkait tata ruang dan wilayah pemerintah kota
berdasarkan SK Walikota Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Tahun 2002.
Pada Perda RT/RW terbaru Kota Samarinda yaitu Perda. No 12 Tahun 2014,
bukan memberikan pembatasan atas aktifitas pertambangan, namun memberikan
keleluasaan kepada pemerintah kota untuk secara bebas menerbitkan IUP. Pada
pasal 47 yang membagi kawasan peruntukan di samarinda, tidak secara jelas
mengatur wilayah peruntukan pertambangan batubara. Ayat (5) point b. pada pasal
ini menyebutkan
“b. kawasan pertambangan kelompok batubara yang meliputi:
- batubara yang ijinnya dikeluarkan oleh Kementerian ESDM terletak di Kecamatan Sambutan, Kecamatan Sungai Pinang, Kecamatan Samarinda Utara, Kecamatan Samarinda Ulu, Kecamatan Sungai Kunjang, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kecamatan Samarinda Seberang, Kecamatan Palaran dan Kecamatan Samarinda Ilir; dan
- batu bara yang ijinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Samarinda.”
Angka dua, di poit b pada pasal
47 memberikan kewenangan pada pemerintah kota untuk menerbitkan izin diseluruh
wilayah Kota Samarinda.
Hal ini juga tergambar dari
pernyataan Kepala Bidang Penataan Kota Dina Cipta Karya dan Tata Kota, Kota
Samarinda, yang menyatakan
“Seluruh ruang kosong di Samarinda diperbolehkan dilakukan adanya pertambangan, dengan tetap mempertimbangkan dokumen amdal. Dinas CKTK tidak terlibat dalam proses penerbitan izin karena kami memang tidak memiliki wewenang dalam hal itu. kantor walikoa ini pun jika ditemukan potensi batubara di bahwanya dan bisa dipindahkan, maka diperbolehkan untuk ditambang, urusan kami adalah setelah ditambang dikembalikan ke kondisi semula.”
Perda Rencana Tata Ruang dan
Wilayah Kota Samarinda yang baru saja disahkan dan logika pembangunan dari
pemerintah kota samarinda menunjukkan bahwa garis besar perencanaan pembangunan
tunduk dan mengikut pada rencana pertambangan batubara. Perda RTRW dan kebijakan
tata kota yang mengikut pada batubara terlihat dimana wilayah pertambangan
adalah wilayah yang dikeluarkan IUPnya oleh Pemerintah Kota.
Perselisihan pembangunan dengan
rencana tata ruang dan wilayah bukanlah hal tidak pernah terjadi. Banyak daerah
yang bahkan meberikan peluang untuk perubahan peruntukan dari suatu kawasan.
Namun, rencana tata ruang dan wilayah yang tidak secara jelas mengatur kawasan
pertambangan akan mengakibatkan kerugian sendiri pada pembangunan ekonomi
samarinda. Kawasan perekonomian akan tidak mendapatkan kepastian wilayah,
disebabkan bebasnya pertambangan batubara beroperasi.
Tidak bisa dipungkiri, sektor
batubara sudah memberikan dorongan dan kontribusi terhadap perekonomian Samarinda,
seperti dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, dan tumbuhnya sektor pendukung
seperti jasa dan usaha. Namun, perlu dipertimbangkan bahwa kontribusi sektor
batubara sangat terbatas bahkan Dinas Pertambangan Batubara dan Energi Kota
Samarinda memprediksi produksi batubara akan berakhir tidak lebih dari sepuluh tahun
yang akan datang.
Melihat kondisi ini, mulai dari
bentang wilayah yang tidak memungkinkan lagi memperluas wilayah pertambangan,
hasil produksi batubara yang terus menurun, dampak pertambangan terhadap
lingkungan hidup yang terus memburuk, baiknya pemerintah kota mulai merevisi
kebijakan di sektor pertambangan.
Pemerintah Kota Samarinda harus
segera mengubah cara pandang pola pembangunan. Kebijakan pembangunan harus
memberikan kondisi kota yang lebih layak huni. Pengaturan harus dibuat untuk
memperkuat pengawasan, dan mencabut izin perusahan dengan aktifitas pertambangan
yang merusak. Karena kualitas hidup warga Kota Samarinda yang lebih baik, akan
lebih mampu memberikan kontribusi mewujudkan visi Kota Samarinda sebagai kota
jasa, industri, Perdagangan dan pemukiman yang berwawasan lingkungan.
dipublish juga di KPPODBrief, Edisi Oktober s/d November 2014
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusSAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259
Hapus