Minggu, 02 Agustus 2015

Dana Aspirasi, Berpotensi Ganggu Kesesuaian Penganggaran dan Perencanaan di Daerah?

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersumpah untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekelumit kalimat sumpah tersebut diucapkan oleh anggota dewan saat mereka dilantik. Kata aspirasi ini kemudian diterjemahkan dalam pasal 80 huruf j UU MD3, Dewan perwakilan rakyat berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Pasal ini kemudia menjadi landasan hukum bagi DPR menafsirkan aspirasi menjadi sebuah program dan pagu anggaran, dikenal dengan istilah “Dana aspirasi
 
Sidang paripurna DPR RI kemudian menetapkan pembagian dana sebesar Rp, 20 miliar kepada masing-masing anggotanya. Dengan jumlah anggota dewan sebanyak 560 orang, maka total anggaran yang dibutuhkan sebesar 11,2 triliun rupiah. Di tingkat nasional ketetapan DPR-RI ini kemudian menjadi polemic yang dibicarakan dari hari ke hari di media masa nasional, bahkan pemerintah dengan jelas menegaskan bahwa dalam rancangan APBN 2016 Dana Aspirasi sama sekali tidak dianggarkan. Di tingkat DPRD Propinsi, Kabupaten dan Kota muncul keinginan untuk mendapatkan Dana Aspirasi sama halnya dengan pemerintah pusat. Karena hak mengusulkan dan memperjuangkan program, pembangunan juga merupakan hak dari anggota DPRD Propinsi, Kabupaten maupun Kota.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan aspirasi? Tanpa adanya dana asipirasi sebenarnya DPR/DPRD memiliki hak untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang diwakilinya. Hak ini pun selalu digunakan oleh DPR/DPRD dalam mengawasi dan membahas anggaran yang diusulkan pemerintah. Jika dana aspirasi diturut hingga ke tinggkat DPRD maka kekisruhan yang saat ini terjadi di nasional juga akan mengikut ke daerah. Hal ini tentu saja mengganggu mekanisme yang sebelumnya sudah berjalan dengan baik.

Sesuai dengan UU No. 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional, usulan pembangunan daerah yang dihasilkan oleh DPR maupun DPRD sudah terakomodir dalam proses perencanaan dengan pendekatan politis. Untuk itu, keberadaan dana aspirasi ini menjadi repetisi dalam perencanaan pembangunan, dan semakin mengecilkan ruang fiskal pemerintah.

Jika pada tingkatan nasional DPR masih sibuk dengan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP). Pada tingkat daerah justru telah menerapkan praktek baik. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Andi Darmawati Tombolotutu (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, Palu), peran DPRD dalam menghimpun aspirasi masyarakat dan mensinkronkannya dalam dokumen perencanaan berjalan dengan konsisten. Bahkan anggota DPRD tetap mengawal kemauan masyarakat sampai ke musrenbang kabupaten.

Proses musrenbang diharapkan dapat menggali aspirasi dan kebutuhan masyarakat pada tingkat desa/kelurahan. Dari sisi teknokratis, sebelum dilakukan musrenbang kabupaten Bappeda telah memperlihatkan draft hasil musrenbang kecamatan yang menjadi kebutuhan dan menjadi prioritas untuk mendukung visi misi bupati. Dari sisi politik, disinilah peran DPRD yang hadir pada saat musrenbang kecamatan mengusulkan aspirasi yang sudah mereka jaring pada saat reses. DPRD juga telah menjaring aspirasi masyarakat sehingga semua dapat sinkron dan apa yang menjadi kemauan masyarakat tetap dikawal anggota DPRD tersebut sampai pada saat musrenbang kabupaten.

Proses meneruskan aspirasi masyarakat melalui salurah legislatif terbukti tidak terkendala oleh ketiadaan anggaran untuk pembangunan daerah pemilihan.  Namun, lebih kepada political will dari para anggota dewan untuk memperjuangan aspirasi masyarakat.

Ketimbang DPRD sibuk dengan dana aspirasi yang notabenenya jelas sudah ada segregasi dalam konstitusi, yakni pemerintah sebagi pelaksana dan DPRD menjadi counterpart dalam membvahasa serta menyetujui lalu melaksanakan pengawasan. Dana aspirasi ini jelas bukanlah trobosan karena jika dianggap anggaran pemerintah tidak menampung aspirasi masyarakat sangatlah mengherankan, karena dalam penyusunan perencanaan sendiri keterlibatan masyarakat merupakan menjadi syarat mutlak.

Disinilah harusnya DPRD melakukan fungsinya sebagai perwakilan yang memiliki hak mengantarkan aspirasi masyarakat. Anggota DPRD harusnya memabangun sistem yang kuat dan terpadu dalam penganggaran, jika yang diinginkan adalah anggaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan sesuai dengan perencanaan daerah maka hal itulah yang harus diperjuangkan dan diaspirasikan dalam pembahasan anggaran bersama pemerintah. Agar DPRD mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat maka proses reses harus maksimal dilakukan oleh DPRD, tidak hanya sebagai kunjungan temu kangen antara masyarakat dengan perwakilannya.

Merujuk pada penelitian oleh Andi Darmawati, DPRD harus mendorong masyarakat dan bersama-sama mengawal jalannya pemerintahan. Dan beberapa hal ini bisa dilakukan legislatif untuk memperkuat peranannya adalah dengan:

  1. Adanya keterlibatan aktif dari komisi, komite DPRD yang relevan dalam diskusi, peninjauan, dan evaluasi usulan masyarakat dalam Musrenbang;
  2. Adanya pemahaman   terhadap   kebutuhan   dan   aspirasi   masyarakat   disuarakan   dalam   Musrenbang   dan   memberikan masukan atas prioritas program berdasarkan prioritas masayarakat;
  3. Kemampuan untuk dapat memastikan konsistensi dan keseimbangan antara program dan anggaran tahunan daerah dengan prioritas nasional dan provinsi dan antara prioritas sektoral dengan alokasi anggaran;
  4. Kemampuan untuk dapat memastikan bahwa Musrenbang menerapkan standar konsultasi publik yang sesuai;
  5. Kemampuan untuk dapat mencermati kebutuhan pengembangan regulasi untuk mendukung program dan kegiatan yang diprioritaskan di Musrenbang.

Disebutkan juga dalam UU MD3 bahwa fungsi DPRD berupa legislasi, anggaran dan pengawasan. Keberadaan ketiga fungsi tersebut menandakan keberadaan ruang yang luas bagi legislatif untuk mengawal perencanaan pembangunan berbasis kebutuhan masyarakat.


Catatan Akhir

Peran DPRD sebagai counterpart dalam mengawasi perencanaan penganggaran hingga pelaksanaannya harus dimaksimalkan dan focus pada fungsinya. Dana aspirasi yang meposisikan DPRD sebagai pengguna anggaran malah akan mengecilkan fungsi mereka dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Arah pembangunan daerah juga akan terganggu karena tidak akan terjadi singkronisasi aspirasi teknokratik dan politik. Pembangunan akan berjalan sendiri-sendiri karena dianggap pemerintah tak mampu menampung aspirasi masyarakat.

Sesungguhnya DPRD dalam menjalankan sumpah “memperjuangkan aspirasi” bisa direalisasikan dan akan lebh efektif dalam kunjungan kerja lapangan. Pada saat masa reses anggota DPRD bertemu dengan konstituennya. DPRD harus mengevaluasi sudah sejauhmana kebutuhan dari masyarakat di daerah itu mendapat respon dari pemerintah. Hasil-hasil reses ini harus terus dikawal oleh DPRD, agar ditindaklajuti oleh pemerintah. Dari asipirasi ini pemerintah menguatkan operasional dan kinerja SKPD yang ada, baik dari aspek anggaran, struktur kelembagaan. Hak politik yang dimiliki DPRD harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Politik dalam konteks bernegara bukan hanya sekedar memperjuangkan kepentingan dari masing-masing anggota DPRD agar pengawasan terhadap pemerintah benar-benar bisa terlaksana.

dimuat pada KPPODBrief Edisi April - Juni: http://www.kppod.org/datapdf/brief/KPPOD-brief-april-juni-2015.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar