Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersumpah untuk memperjuangkan aspirasi rakyat
yang diwakilinya untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekelumit kalimat sumpah
tersebut diucapkan oleh anggota dewan saat mereka dilantik. Kata aspirasi ini
kemudian diterjemahkan dalam pasal 80 huruf j UU MD3, Dewan
perwakilan rakyat berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan
daerah pemilihan. Pasal ini kemudia menjadi landasan hukum bagi DPR menafsirkan
aspirasi menjadi sebuah program dan pagu anggaran, dikenal dengan istilah “Dana aspirasi”
Sidang paripurna DPR RI
kemudian menetapkan pembagian dana sebesar Rp, 20 miliar kepada masing-masing
anggotanya. Dengan
jumlah anggota dewan sebanyak 560 orang, maka total anggaran yang dibutuhkan
sebesar 11,2 triliun rupiah. Di tingkat nasional ketetapan DPR-RI
ini kemudian menjadi polemic yang dibicarakan dari hari ke hari di media masa
nasional, bahkan pemerintah dengan jelas menegaskan bahwa dalam rancangan APBN
2016 Dana Aspirasi sama sekali tidak dianggarkan. Di tingkat DPRD Propinsi,
Kabupaten dan Kota muncul keinginan untuk mendapatkan Dana Aspirasi sama halnya
dengan pemerintah pusat. Karena hak mengusulkan dan memperjuangkan program,
pembangunan juga merupakan hak dari anggota DPRD Propinsi, Kabupaten maupun
Kota.
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan aspirasi? Tanpa
adanya dana asipirasi sebenarnya DPR/DPRD memiliki hak untuk mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang
diwakilinya. Hak ini pun selalu digunakan oleh DPR/DPRD dalam mengawasi dan
membahas anggaran yang diusulkan pemerintah. Jika dana aspirasi diturut hingga
ke tinggkat DPRD maka kekisruhan yang saat ini terjadi di nasional juga akan
mengikut ke daerah. Hal ini tentu saja mengganggu mekanisme yang sebelumnya
sudah berjalan dengan baik.
Sesuai dengan UU No. 25 tahun 2004 tentang sistem
perencanaan pembangunan nasional, usulan pembangunan daerah yang dihasilkan
oleh DPR maupun DPRD sudah terakomodir dalam proses perencanaan dengan
pendekatan politis. Untuk itu, keberadaan dana aspirasi ini menjadi repetisi
dalam perencanaan pembangunan, dan semakin mengecilkan ruang fiskal pemerintah.
Jika pada tingkatan nasional DPR masih sibuk dengan
Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP). Pada tingkat daerah justru
telah menerapkan praktek baik. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Andi
Darmawati Tombolotutu (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, Palu),
peran DPRD dalam menghimpun aspirasi masyarakat dan mensinkronkannya dalam
dokumen perencanaan berjalan dengan konsisten. Bahkan anggota DPRD tetap
mengawal kemauan masyarakat sampai ke musrenbang kabupaten.
Proses musrenbang diharapkan dapat menggali aspirasi
dan kebutuhan masyarakat pada tingkat desa/kelurahan. Dari sisi teknokratis, sebelum
dilakukan musrenbang kabupaten Bappeda telah memperlihatkan draft hasil
musrenbang kecamatan yang menjadi kebutuhan dan menjadi prioritas untuk
mendukung visi misi bupati. Dari sisi politik, disinilah peran DPRD yang hadir
pada saat musrenbang kecamatan mengusulkan aspirasi yang sudah mereka jaring
pada saat reses. DPRD juga telah menjaring aspirasi masyarakat sehingga semua
dapat sinkron dan apa yang menjadi kemauan masyarakat tetap dikawal anggota
DPRD tersebut sampai pada saat musrenbang kabupaten.
Proses meneruskan aspirasi masyarakat melalui
salurah legislatif terbukti tidak terkendala oleh ketiadaan anggaran untuk
pembangunan daerah pemilihan. Namun,
lebih kepada political will dari para
anggota dewan untuk memperjuangan aspirasi masyarakat.
Ketimbang DPRD sibuk dengan dana aspirasi yang
notabenenya jelas sudah ada segregasi dalam konstitusi, yakni pemerintah sebagi
pelaksana dan DPRD menjadi counterpart dalam membvahasa serta menyetujui lalu
melaksanakan pengawasan. Dana aspirasi ini jelas bukanlah trobosan karena jika
dianggap anggaran pemerintah tidak menampung aspirasi masyarakat sangatlah
mengherankan, karena dalam penyusunan perencanaan sendiri keterlibatan
masyarakat merupakan menjadi syarat mutlak.
Disinilah harusnya DPRD melakukan fungsinya sebagai perwakilan
yang memiliki hak mengantarkan aspirasi masyarakat. Anggota DPRD harusnya
memabangun sistem yang kuat dan terpadu dalam penganggaran, jika yang
diinginkan adalah anggaran yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan sesuai
dengan perencanaan daerah maka hal itulah yang harus diperjuangkan dan
diaspirasikan dalam pembahasan anggaran bersama pemerintah. Agar DPRD
mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat maka proses reses harus maksimal
dilakukan oleh DPRD, tidak hanya sebagai kunjungan temu kangen antara
masyarakat dengan perwakilannya.
Merujuk pada penelitian oleh Andi Darmawati, DPRD
harus mendorong masyarakat dan bersama-sama mengawal jalannya pemerintahan. Dan
beberapa hal ini
bisa dilakukan
legislatif untuk memperkuat peranannya adalah dengan:
- Adanya keterlibatan aktif dari komisi, komite DPRD yang relevan dalam diskusi, peninjauan, dan evaluasi usulan masyarakat dalam Musrenbang;
- Adanya pemahaman terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat disuarakan dalam Musrenbang dan memberikan masukan atas prioritas program berdasarkan prioritas masayarakat;
- Kemampuan untuk dapat memastikan konsistensi dan keseimbangan antara program dan anggaran tahunan daerah dengan prioritas nasional dan provinsi dan antara prioritas sektoral dengan alokasi anggaran;
- Kemampuan untuk dapat memastikan bahwa Musrenbang menerapkan standar konsultasi publik yang sesuai;
- Kemampuan untuk dapat mencermati kebutuhan pengembangan regulasi untuk mendukung program dan kegiatan yang diprioritaskan di Musrenbang.
Disebutkan juga dalam UU MD3 bahwa fungsi DPRD
berupa legislasi, anggaran dan pengawasan. Keberadaan ketiga fungsi tersebut
menandakan keberadaan ruang yang luas bagi legislatif untuk mengawal
perencanaan pembangunan berbasis kebutuhan masyarakat.
Catatan Akhir
Peran DPRD sebagai counterpart
dalam mengawasi perencanaan penganggaran hingga pelaksanaannya harus
dimaksimalkan dan focus pada fungsinya. Dana aspirasi yang meposisikan DPRD
sebagai pengguna anggaran malah akan mengecilkan fungsi mereka dalam mengawasi
jalannya pemerintahan. Arah pembangunan daerah juga akan terganggu karena tidak
akan terjadi singkronisasi aspirasi teknokratik dan politik. Pembangunan akan
berjalan sendiri-sendiri karena dianggap pemerintah tak mampu menampung
aspirasi masyarakat.
Sesungguhnya DPRD dalam menjalankan sumpah
“memperjuangkan aspirasi” bisa direalisasikan dan akan lebh efektif dalam kunjungan
kerja lapangan. Pada saat masa reses anggota DPRD bertemu dengan konstituennya.
DPRD harus mengevaluasi sudah sejauhmana kebutuhan dari masyarakat di daerah
itu mendapat respon dari pemerintah. Hasil-hasil reses ini harus terus dikawal
oleh DPRD, agar ditindaklajuti oleh pemerintah. Dari asipirasi ini pemerintah menguatkan
operasional dan kinerja SKPD yang ada, baik dari aspek anggaran, struktur
kelembagaan. Hak politik yang dimiliki DPRD harus digunakan sebesar-besarnya
untuk kepentingan rakyat. Politik dalam konteks bernegara bukan hanya sekedar
memperjuangkan kepentingan dari masing-masing anggota DPRD agar pengawasan
terhadap pemerintah benar-benar bisa terlaksana.
dimuat pada KPPODBrief Edisi April - Juni: http://www.kppod.org/datapdf/brief/KPPOD-brief-april-juni-2015.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar