Sebutir
waktu pada masa lampau membuat kepala kita menjadi alat perekam yang tiada
tandingannya. Sebutir waktu yang berisi kejadian sederhana, kejadian yang tidak
mau dan tidak mampu kita lupakan. Sebutir waktu yang membuat kita geli,
tertawa, haru, tertegun dan bersedih. Dan mencemburui masa lalu adalah hal yang
paling lucu sekaligus menyedihkan. (AAM, 2015)
Riga pernah
terlambat mengejar kereta menuju Jakarta, dan kereta terakhir itu memaksa aku
dan riga untuk menghabiskan dini hari di kota angkringan. Keterlambatan yang
kami syukuri, diam-diam aku tersenyum karena kami akan punya waktu bersama
lebih lama.
Riga seperti
biasanya langsung mengoceh, dia sama seperti lelaki Medan lainnya banyak
bercerita. Menghubungkan ini dan itu meski lebih sering tidak nyambung. Belum
lagi tiap katanya penuh makna merayu yang terselubung. Jujur aku senang
memikirkan tiap pilihan katanya, dan itu menjadi aktivitas baru yang aku suka.
“Bahasa mu
lamis tenan eh Ga” Riga hanya memandangiku dengan tatapan datar, tatapan yang
sampai kapanpun tak akan aku lupakan. “kau tidak akan mendapatkan seroangpun
yang memandangimu dengan cara begini, karena cuman pandangan ini yang penuh
cinta” Riga tak pernah berhenti merayu.
“Sudah ayok,
apa mau sampai pagi di sini? beli tiket mu dan kita jalan muter-muter sekitar
Stasiun Tugu” saat Riga membeli tiket rasanya aku ingin menarik-narik ujung
jaketnya, seperti anak kecil yang ingin diajak bapaknya jalan-jalan.
Jaket itu
kami beli siang tadi, Riga yang berbadan kurus terlihat gemuk jika memakai
jaket. “Jaket memang diciptakan untuk orang kurus agar terlihat gemuk” Riga
langsung menyambar lamunan ku. “kau tahu itu kalimat siapa?” ah seperti biasa
dia memang pengutip yang handal. “ini kalimat eyang Sapardi, karena dia selalu
memakai jaket kemana-mana, ini ada dalam novel Hujan Bulan Juni”.
Tanpa sadar
aku memakaikan Jaket itu ke Riga, untuk mengepas-ngepaskan kebadannya.
Lagi-lagi dia tahu aku tak tahan pada senyumnya yang datar, ia benar-benar
paham senyumannya adalah keindanhan utama yang melekat.
“Riga di
masa depan kau ingin menjadi apa?”
“Aku ingin menjadi kita”
“Apa kau yakin masa
depan masih menjadi milik kita?”
“Akan selalu ada kita. Aku percaya” (AAM,
2015)
“Sini,” Riga menyeret tanganku keluar.
“Hujan Ga” aku tetap memegang
tangannya. “jangan lepas Ga,” bisikku dalam hati.
“Kau tak akan pernah takut,
menari di bawah hujan adalah keyakinan bahwa akan tetap ada kita di masa depan”
Riga, apa
kau menyadari ketika saat kaki mu menyentuh Jakarta nanti maka “kita” bukanlah
masa depan tapi masa lalu. Riga selalu menolak tujuannya ke Jogja adalah salam
perpisahan, karena dia benar-benar tahu bahwa aku telah menerima lamaran anak
sepupu jauh dari ibu.
“Riga kau tahu bahwa ini bukan tentang aku memilihmu atau
mas Bambang. Riga, maaf” Lagi-lagi Riga hanya menimpali.“Kau tahu, bahwa Otsus
yang didapatkan Jogja dan penguasaan tanah yang disebut Sultan Ground itu
adalah bentuk penjajahan tradisional di dunia modren ini. Jika hanya untuk
sekedar menghormati dan mengakui keistimewaan Jogja ada cara lain yang lebih
berbudaya” sambil menyeruput kopi joss dia meneruskan.
“Lihat berapa banyak
hotel yang bediri di atas tanah yang diakui Sultan Ground itu, Jogja tak lagi
ramah, lihatlah bagaimana penguasaan atas tanah adalah awak ketimpangan
ekonomi, identitas Jogja akan tergusur lambat laun menjadi identitas manusia
hotel dan apartemen” Begini memang, Riga tak hanya bisa merayu manja dia
pemerhati yang baik. Kalian tahu, Riga sampai tahu perilaku-perilaku kecil ku
saat makan, dan cara ku bertutur. Membuatku semakin jatuh hati.
Riga, kini
Jogja sudah melewati dini hari, Sultan Jogja sudah bangun, Mentari sudah tampak
dan kereta sebentar lagi datang.
Riga adalah dini hari yang membenci mentari.
-bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar