Senin, 15 Agustus 2016

Jogja Dini Hari

Sebutir waktu pada masa lampau membuat kepala kita menjadi alat perekam yang tiada tandingannya. Sebutir waktu yang berisi kejadian sederhana, kejadian yang tidak mau dan tidak mampu kita lupakan. Sebutir waktu yang membuat kita geli, tertawa, haru, tertegun dan bersedih. Dan mencemburui masa lalu adalah hal yang paling lucu sekaligus menyedihkan. (AAM, 2015)


Riga pernah terlambat mengejar kereta menuju Jakarta, dan kereta terakhir itu memaksa aku dan riga untuk menghabiskan dini hari di kota angkringan. Keterlambatan yang kami syukuri, diam-diam aku tersenyum karena kami akan punya waktu bersama lebih lama.

Riga seperti biasanya langsung mengoceh, dia sama seperti lelaki Medan lainnya banyak bercerita. Menghubungkan ini dan itu meski lebih sering tidak nyambung. Belum lagi tiap katanya penuh makna merayu yang terselubung. Jujur aku senang memikirkan tiap pilihan katanya, dan itu menjadi aktivitas baru yang aku suka.

“Bahasa mu lamis tenan eh Ga” Riga hanya memandangiku dengan tatapan datar, tatapan yang sampai kapanpun tak akan aku lupakan. “kau tidak akan mendapatkan seroangpun yang memandangimu dengan cara begini, karena cuman pandangan ini yang penuh cinta” Riga tak pernah berhenti merayu.

“Sudah ayok, apa mau sampai pagi di sini? beli tiket mu dan kita jalan muter-muter sekitar Stasiun Tugu” saat Riga membeli tiket rasanya aku ingin menarik-narik ujung jaketnya, seperti anak kecil yang ingin diajak bapaknya jalan-jalan.

Jaket itu kami beli siang tadi, Riga yang berbadan kurus terlihat gemuk jika memakai jaket. “Jaket memang diciptakan untuk orang kurus agar terlihat gemuk” Riga langsung menyambar lamunan ku. “kau tahu itu kalimat siapa?” ah seperti biasa dia memang pengutip yang handal. “ini kalimat eyang Sapardi, karena dia selalu memakai jaket kemana-mana, ini ada dalam novel Hujan Bulan Juni”.

Tanpa sadar aku memakaikan Jaket itu ke Riga, untuk mengepas-ngepaskan kebadannya. Lagi-lagi dia tahu aku tak tahan pada senyumnya yang datar, ia benar-benar paham senyumannya adalah keindanhan utama yang melekat.

“Riga di masa depan kau ingin menjadi apa?”
“Aku ingin menjadi kita”
“Apa kau yakin masa depan masih menjadi milik kita?” 
“Akan selalu ada kita. Aku percaya” (AAM, 2015) 
“Sini,” Riga menyeret tanganku keluar.
 “Hujan Ga” aku tetap memegang tangannya. “jangan lepas Ga,” bisikku dalam hati. 
“Kau tak akan pernah takut, menari di bawah hujan adalah keyakinan bahwa akan tetap ada kita di masa depan”

Riga, apa kau menyadari ketika saat kaki mu menyentuh Jakarta nanti maka “kita” bukanlah masa depan tapi masa lalu. Riga selalu menolak tujuannya ke Jogja adalah salam perpisahan, karena dia benar-benar tahu bahwa aku telah menerima lamaran anak sepupu jauh dari ibu. 
 “Riga kau tahu bahwa ini bukan tentang aku memilihmu atau mas Bambang. Riga, maaf” Lagi-lagi Riga hanya menimpali.“Kau tahu, bahwa Otsus yang didapatkan Jogja dan penguasaan tanah yang disebut Sultan Ground itu adalah bentuk penjajahan tradisional di dunia modren ini. Jika hanya untuk sekedar menghormati dan mengakui keistimewaan Jogja ada cara lain yang lebih berbudaya” sambil menyeruput kopi joss dia meneruskan.

“Lihat berapa banyak hotel yang bediri di atas tanah yang diakui Sultan Ground itu, Jogja tak lagi ramah, lihatlah bagaimana penguasaan atas tanah adalah awak ketimpangan ekonomi, identitas Jogja akan tergusur lambat laun menjadi identitas manusia hotel dan apartemen” Begini memang, Riga tak hanya bisa merayu manja dia pemerhati yang baik. Kalian tahu, Riga sampai tahu perilaku-perilaku kecil ku saat makan, dan cara ku bertutur. Membuatku semakin jatuh hati.

Riga, kini Jogja sudah melewati dini hari, Sultan Jogja sudah bangun, Mentari sudah tampak dan kereta sebentar lagi datang. 

Riga adalah dini hari yang membenci mentari. 

-bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar