Senin, 26 September 2016

Cerita Kakao dari Tengah Suawesi



Hasil pohon kakao tak lagi nikmat seperti coklat dari buahnya. Kini kakao menyisakan kecemasan, menimbulkan tanda tanya tentang masa depan dan keberlangsungan. Aroma kakao kini hanya kemilau kejayaan masa lalu, meninggalkan petani tanpa asa pada semesta.

Desa Bambarini, yang terletak di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, pernah berjaya dengan tanaman kakaonya. Penduduk desa ini punya cerita khas tentang masa keemasan kakao pada pertengahan 1990an hingga awal 2000an. Masa yang, antara lain, ditandai banyaknya truk hilir mudik mengangkut hasil kebun kakao. Pendapatan petani yang tinggi juga memungkinkan mereka membeli motor atau mobil secara tunai. Bahkan tiap rumah tangga petani memiliki sepeda motor. Padahal jika dilihat ke belakang, tahun 1997 merupakan masa krisis ekonomi yang menerpa hampir seluruh masyarakat Indonesia.


Namun, pada tahun itu tak sedikitpun fondasi perekonomian petani kakao goncang. Hal ini tidak lain disebabkan hasil perkebunan kakao yang bernilai export. Kini kejayaan itu tinggal kenangan. Daya upaya perbaikaan melalui program Gernas  Kakao digelorakan. Namun, program pengembangan kakao yang diinisiasi Pemerintah Provinsi hingga Kab. Donggala ini tak bisa menyelesaikan permasalahan kakao. Produksi kakao semakin hari semakin menurun. Tahun 2013 produksi kakao hanya sekitar 20.754 ton, menurun sebanyak 14.372 ton dibandingkan tahun 2010 yang jumlah produksinya 35.126 ton. Menurunnya produksi ini juga tak lepas dari permasalahan budidaya kakao.

Meluasnya serangan penyakit Vascular Streak Dieback (VSD), Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) atau Cocoa Pod Borer (CPB) menjadi keluhan petani dalam membudidayakan kakao.  Di sisi lain, menurunnya kesuburan tanah akibat kurangnya penggunaan pupuk, atau penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, pemeliharaan kebun yang amat minim dan lebih sering terlantar (terutama pemangkasan dan pemupukan), dan berkurangnya jumlah pohon kakao/Ha adalah penyebab lain menurunnya produktivitas kakao. Penggunaan bibit kakao yang ditanam terbukti rentan terhadap penyakit dan hama, meski  sebagian bibit yang mereka gunakan sudah termasuk kategori unggul.

Penurunan produktivitas dan mutu tidak hanya berdampak pada pendapatan petani, tetapi juga meningkatnya luas ahli fungsi lahan kakao ke sawit dan tanaman lain seperti nilam dan kopi. Petani kakao tak hanya beralih ke tanaman alternatif namun juga kepada pekerjaan lainnya, seperti menjadi buruh tani di kebun sawit atau bekerja sebagai nelayan. Beralihnya jenis pekerjaan dan mata pencaharian tersebut diperkuat semakin mendalamnya rasa cemas terhadap masa depan tanaman kakao yang tidak mampu mereka atasi sendiri. Tanaman kakao menjadi dilema bagi petani di Desa Bambarini, antara masih berharap dan terancam.  

Kecemasan dan keputusasaan semakin banyak dirasakan oleh petani kakao. Sebutlah contoh Haji Yasin, petani berusia 55 Tahun. Pria berperawakan jangkung ini sudah menebang semua pohon kakao di kebunnya. Saya sudah tebang itu semua coklat (kakao), bibit sawit sudah saya siapkan. Coklat ini sudah tidak  bisa lagi diharapkan. Program-program pemerintah sudah datang kemari tapi ya tetap aja begini," demikian ia bersaksi ketika kami temui Juli 2015 lalu.

Hasil panen untuk 2-3 hektar kakao yang dulunya mencapai 1-2 kuintal/Ha kini turun hanya total 2050kg/Ha. Harga jual juga menurun drastis, karena petani tidak bisa menyanggupi standar Biji kakao yang baik (100-110 bj/kg). Ironisnya petani pemilik tanah akhirnya beralih profesi sebagai buruh tani. Bahkan beberapa petani perempuan secara berkelompok menjadi buruh panen di sawah-sawah luar desa mereka.

Sebagian kelompok sampai ke Sulawesi Barat, dengan pembagian jika mereka memanen 7 sak gabah  mereka akan mendapat bagian 1 sak padi yang akan dibagi sekitar 12 sampai 17 orang. Bagi petani seperti Haji Yasin yang memiliki modal, permasalahan kakao saat ini mungkin tak begitu mengganggu perekonomian rumah tangganya. Namun bagi petani yang hanya memiliki rata-rata luas kebun 2-3 hektare ini akan mengubah kondisi sosial ekonomi. Haji Yasin bahkan menawarkan bibit sawit yang ia miliki untuk ditanam di tanah petani dengan sistem bagi hasil. Tidak hanya itu, Haji Yasin bahkan bisa memberikan pinjaman keuangan bagi para petani kakao yang menanam pohon sawit. Namun, dampak dari sistem ini pada akhirnya hanya akan membuat petani menjadi buruh di tanah milik mereka sendiri. 

Cerita Haji Yasin dan sebagian petani lain nampaknya berbeda dengan Pak Sule, petani bermodal kecil yang tetap setia dan percaya kakaonya memiliki masa  depan yang cemerlang. Walaupun kebunnya sudah diporak-porandakan hama, Pak Sule memiliki segurat asa semangat. Sampai saat ini Pak Sule masih rajin mengunjungi kebunnya, tekun melakukan perawatan secara intens. Rutin memangkas dahan, membuang buah yang sudah busuk, memelihara kebersihan. Cara ini memang tidak serta merta meningkatkan produksi kakao namun paling tidak mengurangi kerugian. Saya belum pernah tahu sawit ini berhasil di sini, jadi kakao masih lebih yakin saya untuk menanamnya. Nanti saat panen raya, lumayan hasilnya,” ujar pak Sule.

Pak Sule ternyata tidak sendiri, beberapa petani  bergabung membentuk kelompok tani. Hal ini memudahkan mereka untuk saling bertukar informasi dan melakukan pemeliharaan secara serentak. Pak Sule menjelaskan jika satu kebun dipelihara, kebun sebelah tidak, ya sama saja hamanya ke sebelah juga. Artinya,  hanya dengan pemeliharaan serentak dan kolektif yang akan mencegah atau memperlambat penyebaran virus dan hama. Dengan berkelompok juga akan memudahkan petani untuk mengakses pupuk bersubsidi.

Hasil penelitian rantai nilai usaha kakao yang dilakukan KPPOD di Kab. Donggala juga menunjukkan bahwa salah satu titik paling lemah dalam rantai produksi kakao terletak pada budidaya. Kurangnya pengetahuan petani dalam melakukan perawatan dan ketidakmampuan mengantisipasi sejak dini serangan hama dan virus menjadi penyebab utama menurunnya produktifitas kakao. Petani tidak begitu gusar mengenai harga, karena permintaan tetap tinggi oleh para pengumpul hingga exportir. Jika petani menyanggupi standar kualitas dan  permintaan volume produksi kakao, maka petani akan memiliki nilai tawar dalam menentukan harga kakao.

Pesan Bagi Semua pihak
Cerita dari Desa Bambarini, juga mungkin di Desa-desa lain di Kab. Donggala, tentu tidak hanya terjadi dalam lingkup kecil berskala desa. Dari penelitian KPPOD di empat daerah sentra penghasil kakao (Sikka dan Majene, 2013 maupun Donggala dan Ende, 2015) menunjukkan permasalahan yang hampir serupa. Hama PBK dan VSD benar-benar menggerus harapan petani terhadap masa depan kakao. Pada sisi lain jika kita lihat, baik  Desa Bambarini maupun desa penghasil kakao lainnya seperti di NTT, Sulsel, Sulteng, dll terdapat beragam intervensi program dari berbagai aktor: Lembaga keuangan international, pemerintah/pemda, universitas, korporasi multinasional hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM). Semuanya bertekad dalam ikhtiar meningkatkan produktivitas kakao. Namun intervensi ini nampaknya menjadikan petani sebagai objek kajian atau objek proyek semata. Masih tak terlihat implikasi semua inisiatif itu terhadap peningkatan kesejahteran petani. Petani hanya akan tetap menjadi petani yang mencangkul dikebunnya, dengan atau tanpa harapan akan suatu perubahan berarti.

Ada petani yang sudah putus asa, ada petani yang masih menggenggam asa. Lalu, siapa yang harus menjaga asa para petani jika keinginan mensejahterakan petani dan meningkatkan produktivitas kakao adalah keinginan kita semua? Masih bisakah kita berharap pada Negara? Tentu, harapan ini harus dijaga oleh Pemerintah mulai dari Jakarta hingga satuan birokrasi terkecil (street level bureaucracy) di tingkat desa. Pemerintah memiliki kewenangan, maka intervensi terbaik tentunya harus datang dari inisiatif pemerintah.

Jika dilihat dari gambaran yang lebih besar, komoditas kakao merupakan salah satu penyeimbang pendapatan terbesar yang dapat dicapai oleh Indonesia setelah sawit dan karet. Luas kebun kakao mencapai 914.051 ha dimana 87,4% dikelola oleh petani kecil, 6,9% dikuasai oleh BUMN dan 6,6% oleh swasta. Data ini menunjukkan bahwa perkebunan kakao memberikan kesempatan  kerja, mata pencarian yang dapat diandalkan dan  sebagai sumber pendapatan bagi 900.000 petani kecil yang hidup di belahan timur Indonesia. Pemerintah dengan kewenangan dan instrumen fiskalnya bisa melakukan intervensi untuk keberlanjutan kakao melaui kebijakan pro petani dan kelembagaan yang membantu petani untuk tumbuh atau bekerja produktif.

Dalam hal kebijakan, pertama, pemda harus memprioritaskan pada pembangunan infrastruktur yang mengakses berbagai sentra produksi (pembangunan jalan tani) dan pembangunan jembatan, irigasi, dll. Kedua, pemda menyediakan penyuluh lapangan yang sesuai dengan kebutuhan petani. Mendistribusikan penyuluh tidak sekedar berdasar ratio jumlah desa dengan penyuluh namun sesuai dengan tingkat permintaan dan karakteristik kebutuhan petani. Penyuluh dengan pengetahuan perkebunan kakao harus ditempatkan di wilayah perkebunan kakao. Ketiga, dengan anggaran yang dimiliki, pemda harus menempatkan pertanian dan perkebunan sebagai prioritas dalam APBD setelah pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Sementara perihal kelembagaan, Pemda harus serius membentuk lembaga kerjasama yang mempertemukan stakeholder di setiap rantai nilai usaha kakao. 

Mulai dari lembaga keuangan, penyedia saprodi hingga pengusaha sebagai pembeli. Dengan adanya lembaga kerjasama yang dimotori oleh pemda, masing-masing stakeholder bisa berkoordinasi dan saling memahami tiap hambatan dan jika terjadi intervensi, sehingga program jadi lebih tepat sasaran. Dengan strategi-fokus dari pemda dan disertai komitmen kuat bagi pengembangan produk unggulan (baca: kakao) maka kisah pahitnya rasa coklat dan getirnya hidup petani sedikit terobati. Kini mereka, para petani kakao di Desa Bambarini dan desa-desa lain di seantero pelosok negeri, menggantungkan harapan pada Negara yang dianggap punya kuasa sekaligus tanggung jawab untuk mengangkat mereka dari keterpurukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar