Hasil pohon kakao tak lagi nikmat seperti coklat
dari buahnya. Kini kakao menyisakan kecemasan, menimbulkan tanda tanya tentang
masa depan dan keberlangsungan. Aroma kakao kini hanya kemilau kejayaan masa
lalu, meninggalkan petani tanpa asa pada semesta.
Desa Bambarini, yang terletak di Kabupaten Donggala,
Sulawesi Tengah, pernah berjaya dengan tanaman kakaonya. Penduduk desa ini
punya cerita khas tentang masa keemasan kakao pada pertengahan 1990an hingga
awal 2000an. Masa yang, antara lain, ditandai banyaknya truk hilir mudik
mengangkut hasil kebun kakao. Pendapatan petani yang tinggi juga memungkinkan
mereka membeli motor atau mobil secara tunai. Bahkan tiap rumah tangga petani
memiliki sepeda motor. Padahal jika dilihat ke belakang, tahun 1997 merupakan
masa krisis ekonomi yang menerpa hampir seluruh masyarakat Indonesia.
Namun, pada tahun itu tak sedikitpun fondasi
perekonomian petani kakao goncang. Hal ini tidak lain disebabkan hasil
perkebunan kakao yang bernilai export. Kini kejayaan itu tinggal kenangan. Daya upaya
perbaikaan melalui program Gernas Kakao digelorakan. Namun, program pengembangan kakao yang
diinisiasi Pemerintah Provinsi hingga Kab. Donggala ini tak bisa menyelesaikan
permasalahan kakao. Produksi kakao semakin hari semakin menurun. Tahun 2013
produksi kakao hanya sekitar 20.754 ton, menurun sebanyak 14.372 ton dibandingkan tahun
2010 yang jumlah produksinya 35.126 ton. Menurunnya produksi ini juga tak lepas
dari permasalahan budidaya kakao.
Meluasnya serangan penyakit Vascular Streak Dieback (VSD), Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) atau Cocoa Pod Borer (CPB) menjadi keluhan petani dalam membudidayakan kakao. Di sisi lain, menurunnya kesuburan tanah
akibat kurangnya penggunaan pupuk, atau penggunaan pupuk kimia yang berlebihan,
pemeliharaan kebun yang amat minim dan lebih sering terlantar (terutama
pemangkasan dan pemupukan), dan berkurangnya jumlah pohon kakao/Ha adalah
penyebab lain menurunnya produktivitas kakao. Penggunaan bibit kakao yang
ditanam terbukti rentan terhadap penyakit dan hama, meski sebagian bibit yang mereka gunakan sudah
termasuk kategori unggul.
Penurunan produktivitas dan mutu tidak hanya berdampak
pada pendapatan petani, tetapi juga meningkatnya luas ahli fungsi lahan kakao
ke sawit dan tanaman lain seperti nilam dan kopi. Petani kakao tak hanya
beralih ke tanaman alternatif namun juga kepada pekerjaan lainnya, seperti
menjadi buruh tani di kebun sawit atau bekerja sebagai nelayan. Beralihnya
jenis pekerjaan dan mata pencaharian tersebut diperkuat semakin mendalamnya
rasa cemas terhadap masa depan tanaman kakao yang tidak mampu mereka atasi sendiri.
Tanaman kakao menjadi dilema bagi petani di Desa Bambarini, antara masih
berharap dan terancam.
Kecemasan dan keputusasaan semakin banyak dirasakan oleh petani kakao.
Sebutlah contoh Haji Yasin, petani berusia 55 Tahun. Pria berperawakan jangkung ini sudah menebang
semua pohon kakao di kebunnya. “Saya
sudah tebang itu semua coklat (kakao), bibit sawit sudah saya siapkan. Coklat ini sudah tidak bisa lagi
diharapkan. Program-program pemerintah sudah
datang kemari tapi ya tetap aja begini," demikian ia bersaksi ketika kami temui Juli 2015 lalu.
Hasil panen untuk 2-3 hektar kakao yang dulunya mencapai
1-2 kuintal/Ha kini turun hanya total 2050kg/Ha. Harga jual juga menurun
drastis, karena petani tidak bisa menyanggupi standar Biji kakao yang baik
(100-110 bj/kg). Ironisnya petani pemilik tanah akhirnya beralih profesi
sebagai buruh tani. Bahkan beberapa petani perempuan secara berkelompok menjadi
buruh panen di sawah-sawah luar desa mereka.
Sebagian kelompok sampai ke Sulawesi Barat, dengan
pembagian jika mereka memanen 7 sak gabah
mereka akan mendapat bagian 1 sak padi yang akan dibagi sekitar 12 sampai
17 orang. Bagi petani seperti Haji Yasin yang memiliki modal, permasalahan kakao
saat ini mungkin tak begitu mengganggu perekonomian rumah tangganya. Namun bagi
petani yang hanya memiliki rata-rata luas kebun 2-3 hektare ini akan mengubah
kondisi sosial ekonomi. Haji Yasin bahkan menawarkan bibit sawit yang ia miliki
untuk ditanam di tanah petani dengan sistem “bagi” hasil. Tidak hanya itu, Haji Yasin bahkan bisa memberikan
pinjaman keuangan bagi para petani kakao yang menanam pohon sawit. Namun, dampak
dari sistem ini pada akhirnya hanya akan membuat petani menjadi buruh di tanah
milik mereka sendiri.
Cerita Haji Yasin dan sebagian petani lain nampaknya berbeda dengan Pak Sule, petani
bermodal kecil yang tetap setia dan percaya kakaonya memiliki masa depan yang cemerlang. Walaupun kebunnya sudah diporak-porandakan hama, Pak Sule memiliki segurat asa
semangat. Sampai saat ini Pak Sule masih rajin mengunjungi kebunnya, tekun
melakukan perawatan secara intens. Rutin memangkas dahan, membuang buah yang
sudah busuk, memelihara kebersihan. Cara ini memang tidak serta merta
meningkatkan produksi kakao namun paling tidak mengurangi kerugian. “Saya belum pernah tahu sawit
ini berhasil di sini, jadi kakao masih lebih yakin saya
untuk menanamnya. Nanti saat panen raya, lumayan hasilnya,” ujar pak Sule.
Pak Sule ternyata tidak sendiri, beberapa petani bergabung membentuk kelompok tani. Hal ini memudahkan mereka untuk saling
bertukar informasi dan melakukan pemeliharaan secara serentak. Pak Sule menjelaskan
“jika satu kebun
dipelihara, kebun sebelah tidak, ya sama saja hamanya ke sebelah juga.” Artinya, hanya dengan
pemeliharaan serentak dan kolektif yang akan mencegah atau memperlambat
penyebaran virus dan hama. Dengan berkelompok juga akan memudahkan petani untuk
mengakses pupuk bersubsidi.
Hasil penelitian rantai nilai usaha kakao yang
dilakukan KPPOD di Kab. Donggala juga menunjukkan bahwa salah satu titik paling
lemah dalam rantai produksi kakao terletak pada budidaya. Kurangnya pengetahuan
petani dalam melakukan perawatan dan ketidakmampuan mengantisipasi sejak dini
serangan hama dan virus menjadi penyebab utama menurunnya produktifitas kakao.
Petani tidak begitu gusar mengenai harga, karena permintaan tetap tinggi oleh
para pengumpul hingga exportir. Jika petani menyanggupi standar kualitas dan permintaan volume produksi kakao, maka petani
akan memiliki nilai tawar dalam menentukan harga kakao.
Pesan Bagi
Semua pihak
Cerita dari Desa Bambarini, juga mungkin di
Desa-desa lain di Kab. Donggala, tentu tidak hanya terjadi dalam lingkup kecil
berskala desa. Dari penelitian KPPOD di empat daerah sentra penghasil kakao
(Sikka dan Majene, 2013 maupun Donggala dan Ende, 2015) menunjukkan permasalahan
yang hampir serupa. Hama PBK dan VSD benar-benar menggerus harapan petani
terhadap masa depan kakao. Pada sisi lain jika kita lihat, baik Desa Bambarini maupun desa penghasil kakao
lainnya seperti di NTT, Sulsel, Sulteng, dll terdapat beragam intervensi program
dari berbagai aktor: Lembaga keuangan international, pemerintah/pemda,
universitas, korporasi multinasional hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM). Semuanya
bertekad dalam ikhtiar meningkatkan produktivitas kakao. Namun intervensi ini
nampaknya menjadikan petani sebagai objek kajian atau objek proyek semata. Masih
tak terlihat implikasi semua inisiatif itu terhadap peningkatan kesejahteran petani.
Petani hanya akan tetap menjadi petani yang mencangkul dikebunnya, dengan atau
tanpa harapan akan suatu perubahan berarti.
Ada petani yang sudah putus asa, ada petani yang
masih menggenggam asa. Lalu, siapa yang harus menjaga asa para petani jika
keinginan mensejahterakan petani dan meningkatkan produktivitas kakao adalah
keinginan kita semua? Masih bisakah kita berharap pada Negara? Tentu, harapan ini harus dijaga
oleh Pemerintah mulai dari Jakarta hingga satuan birokrasi terkecil (street level bureaucracy) di tingkat desa. Pemerintah memiliki kewenangan, maka
intervensi terbaik tentunya harus datang dari inisiatif pemerintah.
Jika dilihat dari gambaran yang lebih besar,
komoditas kakao merupakan salah satu penyeimbang pendapatan terbesar yang dapat
dicapai oleh Indonesia setelah sawit dan karet. Luas kebun kakao mencapai
914.051 ha dimana 87,4% dikelola oleh petani kecil, 6,9% dikuasai oleh BUMN dan
6,6% oleh swasta. Data ini menunjukkan bahwa perkebunan kakao memberikan
kesempatan kerja, mata pencarian yang dapat diandalkan dan sebagai sumber pendapatan bagi 900.000 petani kecil yang hidup di belahan timur
Indonesia. Pemerintah dengan kewenangan dan instrumen fiskalnya bisa
melakukan intervensi untuk keberlanjutan kakao melaui kebijakan pro petani dan
kelembagaan yang membantu petani untuk tumbuh atau bekerja produktif.
Dalam hal kebijakan, pertama, pemda harus memprioritaskan
pada pembangunan infrastruktur yang mengakses berbagai sentra produksi
(pembangunan jalan tani) dan pembangunan jembatan, irigasi, dll. Kedua,
pemda menyediakan penyuluh lapangan yang sesuai dengan kebutuhan petani.
Mendistribusikan penyuluh tidak sekedar berdasar ratio jumlah desa dengan penyuluh
namun sesuai dengan tingkat permintaan dan karakteristik kebutuhan petani.
Penyuluh dengan pengetahuan perkebunan kakao harus ditempatkan di wilayah
perkebunan kakao. Ketiga, dengan anggaran yang dimiliki, pemda harus
menempatkan pertanian dan perkebunan sebagai prioritas dalam APBD setelah pendidikan,
kesehatan, dan infrastruktur. Sementara perihal kelembagaan, Pemda harus serius
membentuk lembaga kerjasama yang mempertemukan stakeholder di
setiap rantai nilai usaha kakao.
Mulai dari lembaga keuangan, penyedia saprodi
hingga pengusaha sebagai pembeli. Dengan adanya lembaga kerjasama yang dimotori
oleh pemda, masing-masing stakeholder bisa berkoordinasi dan saling memahami tiap
hambatan dan jika terjadi intervensi, sehingga program jadi lebih tepat
sasaran. Dengan strategi-fokus dari pemda dan disertai komitmen kuat bagi
pengembangan produk unggulan (baca: kakao) maka kisah pahitnya rasa coklat dan getirnya
hidup petani sedikit terobati. Kini mereka, para petani kakao di Desa Bambarini
dan desa-desa lain di seantero pelosok negeri, menggantungkan harapan pada Negara
yang dianggap punya kuasa sekaligus tanggung jawab untuk mengangkat mereka dari
keterpurukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar