Machiavelli jauh-jauh hari mengungkapkan pernyataan yang sejak dulu hingga saat ini menjadi sebuah fakta yang tidak terbantahkan, ungkapan bahwa politik bertujuan untuk merebut dan memperbesar kekuasaan tampaknya menjadi sebuah kalimat yang dipegang teguh untuk dijalankan para pemegang tampuk kekuasaan, maka tak heran jika banyak negara yang transisi demokrasinya tidak berjalan dengan baik. Maka gelombang pemberontakanlah yang menghancurkan tirani kuasa tersebut.
Belajar dari peristiwa hangat yang baru-baru ini terjadi di wilayah Afrika Utara. Tunisia ternyata baru dua kali berganti presiden semenjak kemerdekanan Negara itu pada tahun 1957, dan rezim Ben Ali sebagai rezim presiden kedua negara itu akhirnya tumbang selama 30 tahun berkuasa oleh pemberontakan rakyatnya sendiri. Begitu juga Mesir yang dipimpin rezim otoriter Husni Mubarok selama tiga puluh tahun, juga tumbang oleh gerakan demontrasi selama 18 hari dan merenggut lebih dari 300 nyawa.
Hasil akhir dari perjalanan kekuasaan politik yang begitu besar itu menyisakan rezim korup yang ditumbangkan oleh rakyatnya, kekuasan layaknya, nafsu hasrat alamiah yang harus dengan segera dipenuhi, seperti rasa haus, lapar dan seksual. Entah kenapa setiap manusia yang diberikan amanah kekuasaan cendrung bermanuver untuk mempertahankan kekuasaannya?
“Beautiful Girl” Kekuasaan
Seorang filsuf sastrawi Kahlil Gibran percaya bahwa kekuasaan bersumber dari problem eksistensi. Ia menyebutnya egoisme. Egoismelah yang menyebabkan keangkuhan buta, dan keangkuhan melahirkan suku-suku bangsa, dan suku bangsa berubah menjadi kekuasaan yang melahirkan pertikaian dan penaklukan bangsa lain. Kekuasaan itulah yang menghancurkan Babiloni dan menghancurkan Roma hingga berkeping-keping.
Ungkapan Kahlil Gibran dengan jelas menyebut egoisme, egoisme para penguasalah yang akhirnya melahirkan pertikaian perebutan kuasa. Indonesia menjadi sebuah bangsa, dan disini pula muncul egosime para penguasa, Indonesia lebih dahulu merasakan egosime para penguasa, yang berakhir pada rezim korup, dan penindasan.
Soekarno tumbang atas hasil gelombang demonstrasi, dan konspirasi politik yang hingga kini masih buram, hal ini terjadi haus kekuasaanya Soekarno yang berujung pada pengangkatan dirinya sebagai presiden seumur hidup oleh DPRGR yang notabenenya adalah bentukan Soekarno sendiri.
Kekuasan yang diberikan kepada Soeharto atas mandat yang tidak diketahui secara pasti hingga kinipun disalahgunakan, Negara ini hidup dalam rezim otoriter dan korup selama 32 tahun, dan rezim ini juga berujung di tangan pemberontakan gelombang demonstrasi yang memaksa sang presiden otoriter dan korup untuk turun dari kekuasaanya.
Begitulah kekuasaan yang menyebabkan seseorang haus, untuk bertindak sesuka hati, mengamankan aset dan melanjutkan kuasa. Manuver perebutan dan memperbesar kuasa inilah yang menyebabkan konspirasi politik menjadi sengketa.
Sengketa Kepetingan Politik
Perebutan dan memperbesar kuasa menjadi sengketa, skenario konspirasi dimainkan layaknya strategi bermain catur. Sengketa konflik ini lah yang menyebabkan para penguasa lupa pada sumpah dan janjinya pada saat merebut hati rakyat untuk memilih dan menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Mereka lupa akan amanat undang-undang dan sistem pemerintahan yang harus mereka jalankan sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Pemerintahan menjadi lemah karna sibuk mepertahankan kekuasaan dan citra publik, sehingga lupa pada fungsinya sebagi eksekutif yang memiliki tugas besar untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Partai oposisi sibuk merongrong pemerintahan, partai koalisi penguasa sibuk melakukan pembelaan dan menggawangi kepentingan pemerintah di legislatif, hingga mereka lupa pada fungsi utama mereka sebagai lembaga pencipta legitimasi dan lembaga yang mengotrol budget pemerintahan.
Tontonan konspirasi menjadi rangkaian drama yang menarik kita lihat, jika kita runut peristiwa demi peristiwa di negeri ini bagai panggung teatrikal yang tak mempunyai ending, dan rakyat sebagai penonton hanya mengelu kesah pada diri sendiri.
Dugaan kriminalisasi pimpinan KPK Bibit dan Chandra Hamzah, setelah di bentuk tim 8 oleh presiden namun tak kunjung menemui kongklusi. Dugaan penyuapan kepada Anggoro hingga saat ini tak juga terkuak. Anggodo adik Anggoro yang didakwa melakukan penyuapan tak kunjung kelar kasusnya hingga saat ini, bahkan pada jalur ceritanya masih mampu melakukan PK terhadap SKP2 kasus kriminalisasi pimpinan KPK. Penyuap jaksa Urip, Artalyta Suryani mendapat fasilitas lebih dan mewah dan berakhir pada remisi yang menyebabkan ia hanya dihukum 2,5 tahun penjara. Kasus bank Century yang menelan kerugian Negara 6,7 triliyun rupiah tak pernah tuntas hingga kini, dan berujung pada pemberhentian seorang mentri keungan yang berprestasi Sri Mulyani. Kasus mafia pajak Gayus Tambunan hanya dihukum selama 7 tahun, dan dengan dakwaan pelanggran administratif. Kita semua dibingungkan oleh maneuver-demi maneuver yang dilakukan para elite.
Konflik yang terjadi ini mengisyaratkan lemahnya institusi politik (eksekutif dan legislatif), ketidakmatangan berdemokrasi menyebabkan lemahnya institusi politik itu sendiri yang berdampak tidak berjalannya fungsi sebagaimana mestinya. Para elite malah sibuk dengan konflik antar elite yang secara otomatis kerap kali menghantarkan pada mobilisasi massa, pengerahan konstituen dalam bentuk demonstrasi, mobilisasi ini akan berakibat pada masuknya berbagai perspektif dan keyakinan tradisional ke dalam sistem politik, hal ini sedikit banyak akan berpengaruh pada upaya pembangunan institusi politik modern. Mandeknya pembanguan institusi politik ini akan menyebabkan pula ketidakmatangan kita dalam berdemokrasi, maka kita akan disibukkan saja dengan permasalahan kekuasaan tanpa pernah menjalankan kekuasaan itu sebagai mana mestinya.
Kekuasaan yang seharusnya menyejahterahkan malah menyengsarakan, kekuasaan yang seharusnya memperjelas malah mengaburkan, kekuasaan yang seharuanya bertindak tegas pada korupsi malah bermain tarik ulur pada korupsi. Kekuasaan yang diberikan rakyat bukanlah tanpa harapan, mandat rakyat pada penguasa adalah harapan besar dari seorang ibu kepada kesejahteraan masa depan anaknya, harapan tukang becak untuk penghidupan yang lebih layak. Harapan para penjual akan kejelasan harga. Harapan dari seorang anak untuk bisa belajar dengan baik. Harapan-harapan ini memang kecil namun inilah harapan yang sebenarnya menghantarkan para penguasa pada tampuk kekuasaannya, bukan malah mendapatkan tontonan tentang pertikaian kepentingan politik.
Akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa power oriented adalah kata yang pas untuk menggambarkan sikap dari para elite saat ini, DPR seakan merongrong pemerintahan SBY dengan membentuk PANSUS atau PANJA. Pemerintahan saat ini pun tergambar sebagai politik transaksional, pemerintahan SBY terlihat terlalu banyak tawar menawar politiknya, yang menyebabkan beliau tidak tegas dalam mengambil keputusan. Padahal sebenarnya pembagian kekuasaan politik antara legislatif dan eksekutif adalah sangat wajar sebagai bentuk penyeimbang kekuasaan.
Tokoh sosiologi politik dari Harvard University mengungkapkan akan pentingnya pembangunan institusi politik sebagai sumber legitimasi dan otoritas rakyat, untuk mengurangi konflik para elite. Oleh karena itu, upaya para elite untuk berkonsentrasi membangun sistem internalnya yang solid, professional, dan responsif, terhadap masalah rakyat, seharusnya menjadi prioritas, ketimbang manuver-manuver yang sifatnya power-oriented dalam dunia demokrasi.
Konsentrasi para elite dalam membangun institusional politik baik eksekutif maupun legislatif, akan memfokuskan mereka ke dalam upaya pembangunan kesejahteraan masyarakat. Tidak disibukkan dalam konspirasi perebutan dan memperbesar kekuasaan.
Panggung konspirasi yang selama ini dipertontonkan kepada kita adalah bukti nyata bahwa konflik para elite terjadi adalah dalam ranah merebut dan mempertahankan kekuasaan. Kesibukan mereka dalam membangun tirani kuasa berdampak pada pembohongan publik dan melupakan tugas dan fungsi pokok sebagai seorang eksekutif dan legisatif.
Kematangan berdemokrasi sangat dibutuhkan di negeri ini, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, agar kemudian para elite penguasa fokus pada program dan kinerja-kinerja yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar