Melihat kondisi Negara dan kepemimpinan yang semakin tidak berdaya, seakan mengerus hati tentang perjalanan sebuah bangsa. Ketidakberdayaan Negara terhadap asing (pasar) menjadi sebuah keingingan untuk mencungkil jawaban atas rezim korup yang tak memperdulikan rakyatnya. Masih adakah nation state di era pasar bebas-globalisasi?.
Kapitalisme dengan banyak tentakelnya perlahan menghegemoni pemikiran kita semua -terutama warga dunia ketiga- bahwa Negara tak lagi memiliki peran dalam bidang ekonomi, bahwa permasalahan kesejahteraan adalah tanggung jawab pribadi dari setiap warga Negara. Bercermin ke Indonesia, kesejahteraan rakyat adalah amanat dari konstitusi. Maka jika kesejahteraan rakyat tidak di usahakan oleh Negara, maka hal tersebut sesungguhnya adalah pelanggaran konstitusi.
Tidak ubahnya kondisi dunia yang “melatahkan” indonesia mengikut arus melupakan amanat konstitusi untuk kesejahteraan rakyat. Dunia yang beranggapan bahwa dunia tanpa tapal batas akan meningkatkan kesejahteraan dan keharmonisan ternyata hanya mimpi buruk belaka. Namun dunia telah terbutakan oleh kesejehteraan palsu dan uang panas yang bisa menguap kapan saja.
di millennium ketiga, dunia berubah dengan sangat cepat sehingga menimbulkan implikasi yang sangat kompleks, yaitu munculnya saling ketergantungan (interpendence) dalam hampir seluruh dimensi kehidupan dalam hubungan antar negara-bangsa (nation-state) dan hubungan internasional (transnational relation). Perubahan yang sangat cepat inilah yang disebut dengan glabalosasi[1].
Arus yang cepat ini seakan memaksa Negara untuk hengkang dari penguasaan sektor-sektor ekonomi. Pandangan bahwa ketergantungan ini akan membawa kemajuan bagi Negara-negara berkembang, ternyata hanya mimpi buruk globalisasi.
Konsepsi Globalisasi dan Mimpi buruknya
Dalam banyak defenisi terutama yang berangkat dari kaum globalis, konsep konsep globalisasi merujuk dimana batas-batas Negara bangsa tidak lagi relevan untuk didiskusikan. Lodge (1991) mendefenisikan globalisasi sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungkan dalam aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi maupun lingkungan.
Pandangan lain, mendukung globalisasi dengan menghilangkan hambatan-hambatan terhadap perdagangan internasional, sehingga memudahkan arus perdagangan, investasi, mata uang, dan informasi secara bebas melintasi batas-batas nasional.
Dua defenisi diatas mencakup pengertian bahwa sistem ekonomi, khususnya sistem moneter dunia saat ini sangat tergantung antara satu dengan yang lain. Akibatnya, kebijakan-kebijakan pada skala nasional tidak dapat begitu saja mengabaikan peristiwa-peristiwa di tingkat global, demikian juga sebaliknya peristiwa-peristiwa di tingkat nasional pada tataran tertentu akan berpengaruh pada ekonomi global.
Ekonomi liberal percaya bahwa international division of labor dalam mekanisme pasar justru memberikan keuntungan dan kondisi yang harmonis antar Negara. Mereka juga mempercayai interpendensi yang terjadi dalam system yang sifatnya anarchical sehingga kerjasama dan kompetisi terjadi. Kesemuanya ini mengarahkan kehidupan manusia menjadi lebih sejahtera.
Kepercayaan ekonomi liberal ternyata membawa mimpi buruk bagi Negara dunia ketiga yang notabenenya sebagai mayoritas umat dunia. Pembangunan yang dilakukan ternyata menghadirkan ketimpangan struktur masyarakat, tidak adil dan eksploitatif. Pemahaman ekonomi internasional yang menuntun pengurangan tarif, menghilangkan kuota dan previlage, dan membuka seluas-luasnya investasi dan perdagangan impor. Akibatnya membelah dunia ini menjadi dua, kelompok Negara yang kaya dan kelompok Negara yang miskin, kelompok Negara yang kuat dan lemah. Persaingan yang di buka secara bebas tanpa adanya kompensasi bagi Negara yang lemah. Terjadinya world economic recession juga sebagai sebuah bukti kegagalan paham ini.
Menelisik Peran Negara (Menggambar Indonesia)
Negara dalam hal ini pemerintah telah diberikan mandat oleh rakyatnya untuk menjalankan roda pemerintahan. Membawa Negara pada kedaulatan yang seutuhnya dan mengangkat rakyatnya pada era kesejahteraan.
Mandat ini memberikan ruang kepada eksekutif bertindak secara bebas menentukan kebijakan yang berpihak dan menghasilkan tujuan mulia Negara tersebut. Mandat pada legislatif untuk terus mengontrol dan memberikan regulasi terbaik yang berujung pada kesejahteraan.
Pasar bebas yang kian menghegemonik membawa banyak Negara, khususnya dunia ketiga seakan tidak berdaya pada perhelatan pasar bebas yang mengangungkan modal dan pasar sebagai titik tolak kesejahteraan.
Hegemoni pasar bebas yang membuat kebutaan dan kesadaran palsu dari sebuah Negara tercermin dalam kebijakan ekonomi Negara tersebut yang dibangun dalam kerangka kebijakan politik. Bercermin kepada Indonesia sebagai Negara berkembang mengenai kebijakan ekonominya, mengisyaratkan dengan nyata bahwa pemahaman ekonomi Negara ini adalah neoliberalisme.
Terlihat di beberapa kebijakan yang terkait dengan ekoomi. Kebijakan dalam bidang pertanian, dimana petani tidak diperbolehkan membuat benih sendiri. Multi National Corporate yang kian mencengkram dan kian bebas, sampai-sampai harga minyak sayur di negeri ini di kartel langsung oleh salah satu MNC terbesar. disebabkan MNC tersebut menguasai lahan dan produksi sawit terbesar. Kebijakan energy yang sangat berpihak kepada asing, seperti export LNG secara besar-besaran ke jepang di saat perusahaan Negara membutuhkan gas. Bio-energi sebagai alternative energy yang renewable tak kunjung di terapakan. Privatisasi BUMN juga menjadi contoh besar cakar neo-liberalisme. Ekspolitasi besar-besaran kekayaan alam Indonesia yang cendrung tak teregulasi dengan baik, mulai dari Freeport yang masih menggunakan perjanjian “terimakasih” atas pelepasan Irian Barat, tanah yang sebagian besar dikuasai perkebunan swasta, Chevron yang jauh lebih besar menghisap minyak bumi kita ketimbang perusahan nasional sendiri yaitu Pertamina. Kebijakan ekonomi perbankan yang kita memudahkan akses asing untuk mengcengkram perekonomian inodnesia, seperti CIMB-Niaga, OCBC, ICBC, Commentwelt, HSBC, bertaburnya izin operasi bank asing di Indonesia yang kian marak ini adalah bukti bahwa kebablasannya perekonomian perbankan kita.
Miris rasanya menjelaskan keberpihakan Negara ini satu persatu, kobobrokan Negara lah yang menyebabkan asing menguasai sekup hajat hidup orang banyak.
Dalam pandangan kiri –Marxisme- melihat struktur pasar dunia yang sesungguhnya merupakan konstruksi kapitalisme yang cenderung imperilistis dan hegemonik. Mereka percaya bahwa peran Negara masih dianggap sebagai jalan terbaik untuk mendapatkan keuntungan dari mekanisme pasar. Marxis mengkarakterisasikan Kapitalisme sebagai kepemilikan swasta terhadap faktor-faktor produksi serta yang menentukan gaji bagi para buruh. Kapitalisme muncul karena didorong oleh tuntutan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin serta keuntungan kapital dalam sebuah ekonomi pasar yang kompetitif[2].
Pandangan ini memang menngungkapkan peran Negara dalam pasar, namun lebih kepada penegasan posisi kapitalisme-swasta-lah yang menjadi titik tolak permasalahan kesejahteraan dan kemiskinan yang melanda dunia. Sehingga kita sering lupa bahwa simpul permasalahan sesungguhnya adalah kebijakan Negara. Kebijakan pemerintahlah yang melenggangkan swasta dan asing pada sektor-sektor ekonomi makro dan finansial secara bebas yang kian menjepit rakyatnya sendiri. Konstitusi Negara inilah yang memberikan peluang kepada swasta dan asing untuk mengeruk keuntungan yang besar dari bumi ini.
Kini perdebatan atas perkembangan ekonomi berpusat pada peran Negara dan pasar yang sesuai dalam proses pembangunan. Robert Giplin seorang pengamat ekonomi dunia mempercayai bahwa Negara bangsa (nation-state) tetap merupakan aktor yang dominan baik dalam ekonomi domestik maupun ekonomi internasional karena berjalannya perkembangan perekonomian dunia ditentukan baik oleh pasar dan kebijakan Negara bangsa[3].
Mengutip pidato presiden Brazil Lula da Silva pada saat World Social Forum, menjadi ingin mengatakan tentang sebuah mimpi. mimpi suatu hari nanti semua rakyat mempunyai tanah, bahwa tidak ada lagi anak yang bangun pagi dengan ketakutan karena tidak mendapat sarapan pagi, bahwa tidak ada lagi anak-anak yang kekurangan gizi, rakyat bisa mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan dengan mudah dan murah, dan suatu hari nanti akan terbangun masyarakat yang penuh solidaritas, ketulusan, setara, dan adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar