Jika nisan bisa berbicara, mungkin nisan para pendiri bangsa ini akan memaki. memaki dengan kesal atas krisis multidimensi yang tak kunjung usai, dan rakyat akan berbondong-bondong mencari suaka keadilan dan mengaduh atas kebijakan dan sikap yang semakin menyengsarakan.
Bangsa ini telah lama ada, di bangun diatas perjuangan tanpa pamrih para pahlawan. Jauh sebelum nama Indonesia berkumandang di muka bumi ini, bangsa ini telah menjadi bangsa yang memiliki peradaban. Bangsa ini tidak hanya di bangun oleh rangkain “speech of king” sang Presiden Soekarno, politik diplomasi Syahrir, pergerakan rakyat bawah Tan Malaka, dan pemikiran ekonomi Muhammad Hatta. Peradaban bangsa ini telah ada saat Mataram, Sriwijaya dan Samudra Pasai berdiri menjadi sebuah pimpinan peradaban. Bahkan bangsa ini atas nama nusantara telah menjadi sumpah untuk menjadi satu di sumpah palapa sang nusantarawan Gajahmada. Lalu Indonesia muncul atas kesamaan imajinasi para pahlawan tentang sebuah daerah kepulauan yang subur di tengah dua benua dan dua samudra.
Namun itu hanyalah pusaran sejarah belaka, meski Founding Father bangsa ini dengan lantang mengatakan istilah JASMERAH, “jangan sesekali melupakan sejarah”,tapi Itu hanyalah akronim belaka saat ini. Sejarah itu berubah menjadi kisah yang menyakitkan dan demikian memilukan. Tentang sebuah tragedi pengkhianatan perjuangan para pahlawan pendahulu bangsa ini, yang tulang mereka menjadi tonggak berdirinya Indonesia, daging mereka menyelimuti tubuh Indonesia, bahkan darah dan denyut nadi mereka korbankan untuk sebuah imajinasi yang mereka sebut Indonesia. Pengkhiatan yang hadir dari pemegang kuasa, tampuk kemempimpinan yang diharapkan mampu menghantarkan seluruh penghuni negeri ini keluar dari siksa dan penjajahan, penderitaan dan tangis yang menyengsarakan, malah mereka adalah dalang dari kesengsaraan tersebut.
Kita dipertontonkan pada drama ketidakadilan, dimana mafia yang dulu kita ketahui hanya terjadi di film kini nyata hadir sebagai sebuah fakta disekitar kita. Setiap hari kita disuguhi dengan konspirasi tolol yang disebut dengan bangga yaitu korupsi, bahkan telah menjadi trend dan kebanggaan jika menjadi aktor dari korupsi. Kita diperdaya dengan tipu daya data dan statistik kemajuan ekonomi. padahal lebih dari 70 juta masyarakat Indonesia layak menerima beras bantuan miskin atau raskin, ini adalah angka kotor dimana masih banyak orang miskin yang tak mencicipi raskin, melainkan lebih parah yaitu makan nasi aking, tiwul dan ubi menjadi makanan pokok hingga mati kelaparan dan kurang gizi.
Drama sembilu anak jalanan yang terpaksa putus sekolah mejadi lakon yang diperankan segerombolan anak jalanan yang sering kita jauhi bahkan kita hina di pinggiran jalan dan persimpangan lampu merah. Seorang ibu meminta-minta dengan gendongan anak menjadi bukti bahwa masih banyak yang sengsara di negeri Indonesia.
Ditengah jeritan rakyat akan himpitan ekonomi, politik yang carut marut, keadilan yang hanya mimpi, budaya yang hanya menilai manusia atas sisi-sisi numerikal hingga tiada pernah kita berpikir tentang kecerdasan dan nilai moral seseorang, Sang presiden masih sempat mengeluh tentang gaji yang tak pernah naik selama tujuh tahun, tak usah kita berbicara tentang tunjangan yang bernilai lebih dari dua milyar, sebuah fakta bahwa tisu untuk membersihkan kotoran sang presiden sudah dibiyayai dan difasilitasi oleh Negara. Belum lagi anggota legislatifnya yang sibuk dengan meperindah gedung dengan biaya 1,3 trilyuan, perjalanan studi bading hingga milyaran, tanpa ada gebrakan perubahan apapun di negeri ini. mengisyaratkan yang miring bukan gedungnya melainkan orang didalam gedungnya. Para mentri juga sibuk dengan kolega bisnisnya masing-masing, Kosolidasi politik traksaksional yang hanya menguntungkan pribadi dan golongan.
Lantas apakah kemudian kita jenuh dan menyerah dengan semua kondisi ini? Tantangan terbesar bagi kita untuk terus berusaha, paling tidak dengan cara sederahana. memastikan berkurangnya kemiskinan di negeri ini adalah dengan memastikan bahwa kita, orang terdekat dan di sekitar kita bukan orang miskin. Memastikan bangsa ini bukan bangsa yang bodoh, dengan terus melengkapi diri kita, dan disekleiling kita dengan ilmu pengetahuan dengan cara terbaik yang bias kita lakukan. Plan big thing, do and start from small thing, merencanakan hal yang besar, dan melakukan hal kecil dan sederhana, sebuah kalimat pengobat atas matinya rasa kemanusia di negeri ini.
Tak perlu lagi kita banyak berharap pada penguasa, pemegang tampuk kuasa di negeri ini. karena mengharapkan kebahagiaan yang datangnya dari pemerintah itu bagai mimpi di siang bolong yang tak akan pernah terwujud.
Lalu apakah ini sebuah pernyataan putus asa tentang kemajuan sebuah bangsa? Dengan jelas bukan negeri ini telah dilanda banyak bencana dan cobaan, yang berarti setelah kesulitan maka akan datanglah kemudahan. Yakinlah cepat atau lambat bangsa ini akan keluar dari krisis multidimensinya, namun kita tak bisa pastikan apakah masih dengan imajinasi kebangsaan yang sama yaitu Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar