Rabu, 16 Februari 2011

Meruntuhkan Menara Gading, Melebur Bersama Komitment Pengabdian Kepada Rakyat

Semua teori itu hancur, kami tak bisa berbuat apa-apa, selain tidur bersama keluarga nelayan dengan dinding tepas dan alas tanah. Rangkaian kata di atas meluncur di status situs jejaring sosial facebook, yang ditulis seorang teman yang saat ini sedang Praktek Kerja Lapangan  (PKL) di daerah Serdang Bedagai Sumatera Utara.


Kebingungan antara teori dan aplikasi kenyataan, mungkin tidak hanya dirasakan oleh temanku yang berlabel mahasiswa yang sedang PKL saja, tetapi juga dirasakan oleh seluruh mahasiswa lainnya. Kebingungan, bagaimana semua teori keren dan njelimet yang didapatkan selama duduk di bangku kuliah bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat, atau menjadi jurus jitu membantu menyelesaikan masalah kehidupan masyarakat.


Kesenjangan antara teori-teori dan aplikasi di lapangan kerap terjadi, seolah-olah teori-teori yang seharusnya didesain dan ditemukan untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat sibuk sendiri di jalanan dan bangku-bangku kampus, mengendap dan tertidur dalam hiruk-pikuk jadwal ujian dan nilai-nilai yang bertaburan di kertas-kertas mahasiswa. Kemudian masyarakat juga sibuk sendiri dengan benturan hidup dan kepayahan dengan rutinitas mengejar kesejahteraan yang terasa utopis bagi mereka. Pertanyaan yang miris pun berdengung, jadi, apalah yang kalian buat di kampus itu?

Tak lama berselang dari pemikiran tersebut, seorang dosen membubuhkan komentarnya di note yang saya tulis di situs jejaring sosial, seolah menjawab dengan begitu sederhananya kebuntuan teori-teori dan aplikasi itu. Kurang lebih kesimpulan komentarnya adalah “Layaknya kita tidak hanya menjadikan masyarakat sebagai objek penelitian tapi sebagai “guru”, dan kita melebur ke dalamnya, karena jika tidak kampus hanyalah menjadi menara gading yang indah”.

Merenungkan kalimat ini, saya mengingat catatan sejarah perjuangan mahasiswa pada era tahun 1966 dan era 80-an. Mahasiswa yang menyadari peran dan posisinya dalam membela hak-hak rakyat, berjuang untuk demokratisasi dan membela rakyat yang tertindas, berbuat dengan segenap kemampuan yang mereka miliki, tanpa memandang dari kampus mana mereka berasal. Aksi yang mereka lakukan tidak hanya sibuk bertamengkan jaket almamater, apalagi sampai menjadikan almamaternya sebagai seragam khusus meminta-minta sumbangan di jalanan dengan dalih dana untuk perjuangan rakyat, seperti yang saat ini tengah terjadi. Hal ini menurut saya sebagai simbol menara gading telah runtuh, lebur bersama komitmen kerakyatan.

Pada masa itu, masih dapat dirasakan dimana tidak adanya kesenjangan antara teori-teori di kampus dan aplikasi di  masyarakat. Teori dan aplikasi sama-sama berjibaku dalam gerak langkah mahasiswa membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik. Mahasiswa mampu menerjemahkan teori-teorinya di kampus dalam kegiatan nyata di masyarakat, sekaligus membawa permasalahan yang ada di masyarakat ke dalam dinding-dinding istana intelektualnya di kampus untuk dibahas penyelesaiannya.

Berbeda jauh dengan kondisi mahasiswa saat ini, dimana pada saat aksi, PKL, KKN, mahasiswa sibuk dengan penampilannya, merapikan kerah almamaternya, rangkaian bahasa yang digunakan penuh dengan istilah baru di telinga dan lidah masyarakat, begitu juga dengan perjuangan yang diusung, masyarakat sendiri merasa tidak diwakili oleh perjuangan yang dilakukan oleh mahasiswa. Malah lebih sering merasa terganggu, atau hanya menganggap mahasiswa hanya mampu bicara ini dan itu, tapi tetap tidak mampu memberikan perubahan yang lebih baik.

Fenomena yang terjadi berikutnya pun semakin menggelitik, sebagian besar orang tua yang juga merupakan entitas masyarakat, yang menitipkan anak-anaknya di kampus kemudian senantiasa berpesan kepada anaknya yang berlabel mahasiswa agar belajar dengan baik, jangan ikut organisasi macam-macam, dan jangan berkeliaran demonstrasi di jalanan, cepat tamat dengan nilai yang bagus, dan segera dapat pekerjaan.

Dengan begitu, mahasiswa, cepat tamat dan mendapatkan pekerjaan adalah solusi utama dalam masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan mereka. Bukan bagaimana label mahasiswa dengan segala perangkat penghargaannya di mata masyarakat mampu memberikan solusi kehidupan yang lebih baik tidak hanya dalam jangka pendek tetapi juga jangka panjang bagi kehidupan yang lebih berkesinambungan.

Ya... itulah fenomena miris mahasiswa saat ini, berlenggak-lenggok kebingungan di dalam menara gading dengan nilai-nilai yang “memuaskan”, dan sibuk cepat tamat untuk mendapatkan harkat martabat yang di puji dengan pekerjaan yang layak. Lalu dimana tanggung jawab terhadap pengabdian kepada masyarakat? Apalah artinya kuliah dan mahasiswa jika tanpa memberikan solusi nyata dan berguna bagi banyak dimensi ruang dan waktu untuk kehidupan masyarakat? Sampai kapan teori-teori mumpuni yang bersemayam di kampus akan terus membusuk tanpa pernah mengalir menjadi air kehidupan bagi masyarakat?

Ditengah kondisi masyarakat yang sedang terengah-engah atas komplikasi kekecewaan terhadap aparataur pemerintah, Mahasiswa, Dosen, Para  Pejabat masih sempat untuk memperbaiki kerah almamater dan jas mereka, atau sekedar menepuk debu di saku safari.

Ketidakadilanpun luas dirasakan masyarakat, mulai dari perlakuan aparat penegak hukum kepada masyarakat, dan penguasa/pengusaha, melainkan juga pada putusan pengadilan. Tidak sedikit rakyat kecil, yang terpaksa melakukuan tindak pidana, dihukum lebih berat dubandingkan pelaku korupsi yang jelas merugikan negara. Dan maraknya kekerasan massa belakangan ini disebabkan akumulasi kekecewaan rakyat atas tidak berjalannya penegakan hukum formal. Orang lalu mencari jalan sendiri karena jalan hukum di negeri ini tak menyelesaikan persoalan.

Kekecewaan ini kian menumpuk karena selain menadapatkan ketidakadilan dalam bidang hukum rakyat juga didera kesulitan ekonomi. Tingkat pengangguran dan kemiskinan di negeri ini sampai kini masih tinggi. Hal ini dipertegas kembali oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto yang memperkirakan 56 persen aset negeri ini dikuasai oleh hanya 0,2 persen penduduk. Ditambah dengan data, jumlah penduduk miskin di pedesaan mencapai angka 19,93 juta, di perkotaan 11,10 juta orang, berarti ada 31,03 juta penduduk miskin di negeri ini. (Kompas, 4 Oktober 2010.)

Inilah gambaran atas kondisi negara Indonesia yang telah memploklamirkan kemerdekaannya 65 tahun yang lalu, bangsa yang katanya telah melahirkan banyak ilmuan, sarjana, ahli, dan penelitian. Namun belum terlihat perubahan yang berarti atas kesejahteraan, dan keadilan rakyat, meski amanat dari pendiri bangsa, dan UUDnya adalah mensejahterahkan rakyatnya.

Layaknya mahasiswa sebagai kaum intelektual dan pemerintah sebagai motor, bersinergis dengan masyarakat mengentaskan kemiskinan. Prinsip ekonomi Indonesia tampaknya mempertegas prinsip Neo-Liberalisme. Dimana lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi makro. Proof Ellwood, dan berberapa ahli perekonomian indonesia Seperti Rizal Ramli, Ichsanuddin Noersy dkk, sudah sering bersuara lantang tentang pentingnya membangun ekonomi yang dampaknya dengan segera dirasakan masyarakat, namun tak jua disahuti.

Tangisan rakyat semakin merintih tentang kemiskinan, ribuan rakyat hidup sebagai pengemis, pengais sampah, dan peminta-minta, ribuan anak usia sekolah tak mendapatkan pendidikan yang layak, ribuan anak juga tak mendapt asupan gizi yang wajar. Sedangkan “menara gading” masih berdiri dengan kokoh diselimuti keanggkuhan manusia berlagak pintar. Kita runtuhkan manara gading, lepaskan alamamater, kita keluar dari tembok pembatas, apakah kita mahasiswa, dosen, aparatur pemerintah atau apalah, kita bersinergis dengan rakyat, membantu mereka keluar dari kemiskinan, dengan segala hal yang kita mampu, dari hal yang kecil sekalipun, namun jika berkomitmen dan berkelanjutan secara perlahan saya meyakini kita mampu membawa masyarakat di sekeliling kita keluar dari kemiskinan dan berhak mendapatkan kehidupan yang layak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar