Minggu, 27 April 2014

Hujan Langit Jakarta

Saat Jakarta hujan biasanya aku pulang larut, tapi kali ini aku pulang lebih awal.
Rindu memelukmu dari belakang. Sesegera mungkin aku melaju menuju tempat mu.

Ku matikan lampu, perlahan aku memelukmu. tanpa melihatku kau berujar, katamu "kau tahu saja kalau hujan dia pulang larut" sembari menyebut sebuah nama yang bukan nama ku

Ku hidupkan lampu, kau terkejut. Menangis terisak-isak. Aku memilih keluar untuk bernyanyi sumbang, judulnya "Hujan Pengkhianatan"

Larut, di ujung malam aku pulang. Membawa ilalang tajam di tangan kiri. Kutancapkan keperutmu, ku tarik hingga terbelah.

Larut, janin mengantuk di dalamnya sedang menguap. Dengan kuku tajam ku angkut dia. Lalu ku tanya "Siapa bapak mu?"

"Aku singgah ke rahimnya (dia menunjukmu yg sdng beku) saat jakarta sedang hujan." kata janin itu mengutuk

Hingga ujung dini hari ku pisahkan jantung dari tubuh telanjangmu. Kusimpan dalam peti es yg akan ku bawa kemana aku pergi.

Hari ini jakarta sedang hujan. Aku tak khawatir pulang larut. Ku intip peti es (ada jantung yang masih berdetak)

Rabu, 23 April 2014

Tentang Nama Ku dan Bapak

Aku sedang bertanya. Saat aku menjadi Iqbal aku menjadi apa?

Nama itu Bapak yang beri. Menjadi identitas ku dari dulu hingga nanti.

Bapak, bukanlah seorang pengajar (guru). Tapi waktu aku tanya saat masih kecil apa arti nama ku, bapak bilang "artinya orang pintar," katanya sambil menggoyangkan kaki.

Aku mencintai bintang-bintang di mata yang teduh. Bisikmu "Aku kabut di kaki bukit"

Puisi #LanFang

Selasa, 22 April 2014

Tentang Kamu dan Dia

Dialog Dini Hari, bukan lagi tentang kamu.
Tapi tentang dia, Cahaya.
Cahaya yang selalu berbicara di Dini Hari.

Kamu, tentu saja bukan dia.
Dia, Tentu saja bukan kamu.

Namun,
Ceritanya sama.
Tentang Orang Aneh, Orang Asing, dan Pantai di Timur Jauh.

Di batas khayal kami tertawa
Di batas kata kami bercerita

Bedanya,
Aku pernah ketemu kamu meski di bawah hitungan jam
Aku pernah ketemu dia meski di batas khayal

Samanya,
Aku tidak pernah bertanya tentang siapa kamu dan siapa dia.

Karena kamu dan dia akan selalu hidup,
dalam peristiwa yang dicuri Ruang, dan
dalam kenangan yang dicuri Waktu.

Jakarta, 22 April (Januari) 2014

Minggu, 20 April 2014

Seperti Kamu

Kalimat Tuhan yang turun seperti cahaya, menerangi bumi memberi kehidupan. Seperti kamu, Bahasa Tuhan yang memberi Terang menyucikan Jiwa

Sabtu, 19 April 2014

Panggung Demokrasi

Roma pada tahun 75 SM, menjadi panggung berkumpulnya ide dan gagasan tentang kekuasaan, rakyat, dan Demokrasi. Tatananan politik yang memiliki wilayah, penduduk, dan pemerintahan meski saat itu belum diesebut dengan Negara. Hanya Roma. Secara berkala Roma menyediakan panggung, bagi para Aristokrat, Pengacara, dan Militer untuk berorasi. Mulai terbit matahari hinga terbenam proses demokrasi berkangsung, dimulai untuk memilih Senator, Triumphus, Daerah Perwakilan Roma di wilayah lain (Gubernur) bahkan Menteri pada saat itu juga dipilih secara langsung (referendum). Panggung Roma ini tak sekedar riuh dengan politik seremonial. Panggung demokrasi roma tak pernah meninggalkan gagasan layaknya panggung Palistra Socrates di Athena. Penuh gagasan membangun Roma, memperluas wilayah kekuasaan, pengaturan hukum baru, kepemilikan atas tanah, aturan pajak, bahkan ide republik muncul dari panggung ini.
 
Saat itu muncul seorang tokoh bernama Cicero, orang pertama yang mendapat gelar Sang Republik. Cicero yang bukan dari kalangan Aristokrat Roma diangkat menjadi Sang Republik. Ide menjadi republik sebagai kedudukan tertinggi dan terhormat yang tadinya ditempati oleh seorang Triumphus (jendral menang perang), kini di tempati oleh seorang sipil bernama Cicero dengan gagasan menyerahkan kepemilikan tanah secara utuh kepada rakyat, bukan hanya milik aristocrat. Dan akhirnya Cicero berhasil menyedot perhatian masyarakat Roma saat berhasil meenggagalkan kudeta militer dan tetap mempertahankan Roma sebagai sebuah republik.

Kamis, 10 April 2014

Red Capitalism; Kapiltalisme yang Dipimpin Negara


Seperti biasa, masa pemilu dipenuhi dengan hingar bingar politik, saling mengkritik lawan sesuai dengan tujuan politik masing-masing. Sayangnya, dialog berdemokrasi miskin akan dialog yang memberikan pandangan terhadap kondisi ke-Indonesia-an. Sibuk merebut kuasa dengan kata mencintai negeri, namun lupa merawatnya untuk tetap kita sebut Republik Indonesia.

Ada topik kritik menarik yang sebenarnya muncul dalam pesta demokrasi kali ini. Namun, kritik ini hanya untuk serangan lawan politik, bukan berdasar pada kritik membangun negeri. Kritik ini berisikan kebijakan perokonomian Indonesia pada masa pemerintahan Megawati, sebuah ketakutan akan terulang kembalinya berbagai macam privatisasi. Mulai dari Privatisasi satelit Komunikasi hingga privatisasi air. 

Privatisasi; Pemangkasan Peran Negara
Tak sesuai dengan citra Megawati dengan PDIP-nya, partai yang dibangun sebagai partai “wong cilik” dengan “merah” sebagai simbolnya. Merah identik sekali dengan sosialis atau komunis layaknya Rusia, China dan Korea Utara, dimana kewenangan perekonomian secara penuh dimiliki oleh Negara, Negara adalah alat kuasa untuk menentukan arah kebijakan ekonomi secara penuh, hingga kepemilikan adalah milik Negara. Harga tidak ditentukan oleh pasar tapi Negara. Lalu, privatisasi adalah sebuah model menswastakan milik Negara, memberikan kewenangan kepada pasar untuk berkuasa secara penuh dalam memainkan perekonomian sebuah Negara.