Sabtu, 19 April 2014

Panggung Demokrasi

Roma pada tahun 75 SM, menjadi panggung berkumpulnya ide dan gagasan tentang kekuasaan, rakyat, dan Demokrasi. Tatananan politik yang memiliki wilayah, penduduk, dan pemerintahan meski saat itu belum diesebut dengan Negara. Hanya Roma. Secara berkala Roma menyediakan panggung, bagi para Aristokrat, Pengacara, dan Militer untuk berorasi. Mulai terbit matahari hinga terbenam proses demokrasi berkangsung, dimulai untuk memilih Senator, Triumphus, Daerah Perwakilan Roma di wilayah lain (Gubernur) bahkan Menteri pada saat itu juga dipilih secara langsung (referendum). Panggung Roma ini tak sekedar riuh dengan politik seremonial. Panggung demokrasi roma tak pernah meninggalkan gagasan layaknya panggung Palistra Socrates di Athena. Penuh gagasan membangun Roma, memperluas wilayah kekuasaan, pengaturan hukum baru, kepemilikan atas tanah, aturan pajak, bahkan ide republik muncul dari panggung ini.
 
Saat itu muncul seorang tokoh bernama Cicero, orang pertama yang mendapat gelar Sang Republik. Cicero yang bukan dari kalangan Aristokrat Roma diangkat menjadi Sang Republik. Ide menjadi republik sebagai kedudukan tertinggi dan terhormat yang tadinya ditempati oleh seorang Triumphus (jendral menang perang), kini di tempati oleh seorang sipil bernama Cicero dengan gagasan menyerahkan kepemilikan tanah secara utuh kepada rakyat, bukan hanya milik aristocrat. Dan akhirnya Cicero berhasil menyedot perhatian masyarakat Roma saat berhasil meenggagalkan kudeta militer dan tetap mempertahankan Roma sebagai sebuah republik.


Kisah di atas tertuang apik dalam novel “Imperium; a acient novel of Rome” yang ditulis Robert Harris. Kisah ini sekaligus menggambarkan panggung demokrasi dimana gagasan masih menjadi penarik utama, dimana upaya merawat republic masih terjaga, di tengah hiruk pikuk perbutan kekuasaan. Kini, Indonesia satu dekade terakhir disuguhi lakon politik panggung demokrasi menyerupai Roma dalam siklus pemilihan umum (referendum). Kita melakukan pemilihan umum secara berulang-ulang dengan intensitas bisa mencapai 7 kali (jika pemilihan kepalda daerah dan presiden terjadi 2 putaran). Siklus demokrasi yang begitu sering rentan dengan kejenuhan dan berujung pada apatisme terhadap hasil demokrasi.

Tahun ini, tahun 2014. Tahun politik, begitu kita sering menyebutnya. Karena tahun ini menjadi perhelatan pergantian kekuasaan legslatif dan eksekutif dalam skala nasional. Proses yang melegislasi perpindahan tampuk kekuasaan. Demokrasilah satu-satunya proses penyerahan mandat dari kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum. Namun apakah suara yang diberikan rakyat akan digunakan untuk kesejahteraan? Satu-satunya upaya untuk meyakini hal tersebut adalah dengan mengetahui platform partai politik yang berkompetisi di pemilu 2014. Arah kebijakan dan program partai dalam membangun Indonesia yang bisa kita dengar pada saat rapat umum (kampanye). Gagasan atau rah kebijakn inilah yang menjadi alasan memilih parpol, bukan hanya karena kepopuleran dan sebatas kenalan. Namun gagasan, sebuah gagasan merawat republik.

Suguhan Kampanye
Kampanye dihelat sebagai salah satu saluran partai mendistribusikan ide dalam merawat republik, namun lagi-lagi kita hanya disuguhi dengan goyangan dangdut erotis, menampilkan tokoh-tokoh popular untuk meraih dukungan dari para fans, menyuguhi masyarakat dengan orasi lebih tepatnya teriak-teriak. Pemahaman tentang dalil-dalil bernegara tidak diajarkan di dalam partai politik. Seolah-olah ada kesibukan mengurus rakyat, namun itu hanya tampil dalam upaya mempertahankan kursi politik individual, dan bukan karena kesadaran untuk memberi pendidikan politik pada rakyat. Pesta Demokrasi tanpa gagasan, minim pengetahuan, minim etika, Partai Politik terus menjalankan panggung kosong, seakan menganggap masyarakat sebagai konstituen tidak berpengetahuan tentang proses bernegara.

Dari hasil pantauan KPPOD terhadap pemberitaan kampanye partai politik oleh media masa di enam Media Nasional (Kompas, Media Indonesia, Sindo, Republika, Suara Pembaruan dan Koran Tempo) menunjukkan bahwa selama masa kampanye partai politik miskin menyuarakan gagasan. Dari hasil kuantifikasi terhadap pemberitaan kampanye parpol yang mengandung gagasan atau penyampaian platform partai politik menunjukkan bahwa intensitas partai politik dalam menyampaikan gagasan saat kampanye sangat kecil.Pemberitaan Kampanye kali ini, hanya berada pada seputar isu, proses penyelenggaraan kampanye. Seperti siapa juru kampanye nasional yang mengisi?, siapa pengisi hiburannya? Isi hiburannya apa, dan dominasi isu elite partai. 

Catatan Akhir
Secara keseluruhan, kita melihat pemberitaan tentang kampanye partai politik yang miskin gagasan mempertontonkan bahwa pesta demokrasi kita bukanlah sebuah upaya untuk merawat dan memperbaiki bangsa ini. Kita diminta untuk memilih apa yang disajikan, suka tidak suka sebagai warga negara kita diminta untuk memberikan suara pada hari pemilihan, meski pada saat itu kita tidak tahu kebijakan apa yang nantinya akan lahir dari pilihan yang telah kita berikan.

Masyarakat sebagai pemegang kedaulatan penuh untuk memberikan kekuasaan kepada pemimpin berikutnya diabsenkan dalam sistem politik. Meminjam kalimat dosen Filsafat UI Dr. Rocky Gerung, bahwa kini Politik hanya menjadi kegiatan personal dari segelintir elit yang terjebak dalam skenario yang saling mengunci, karena masing-masing terlibat dalam persekutuan pasar gelap kekuasaan pada waktu Pemilu. Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan diabsenkan. Ketergantungan politik pada uang lah yang menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini tidak ada hubungannya dengan politik ideologi, karena relasi personal telah menyelesaikan persaingan ideologi. Artinya, sistem kepartaian modern dan sistem parlemen kita tidak tumbuh di dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena kepentingan elitis individual.

Karena itu pula sebenarnya Parpol tidak perlu repot-repot menyampaikan gagasan hanya perlu menarik dengan popularitas dan membeli suara dengan uang, maka kekuasaaan dapat diraih. Popularitas dan uang sungguh tidak menunjukkan substansi kemampuan memberikan harapan. Harapan hanya mampu dibangun dengan gagasan, ide, sebuah imajinasi negara apa yang kita inginkan dan bagaimana Indonesia kedepannya. Hanya dengan imajinasi dan harapan itu pula kita berhimpun dalam barisan sebagai warga negara Indonesia yang sama-sama berkeinginan membangun Indonesia untuk menyejahterakan rakyatnya dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar