Roma pada tahun 75
SM, menjadi panggung berkumpulnya ide dan gagasan tentang kekuasaan, rakyat,
dan Demokrasi. Tatananan politik yang memiliki wilayah, penduduk, dan
pemerintahan meski saat itu belum diesebut dengan Negara. Hanya Roma. Secara
berkala Roma menyediakan panggung, bagi para Aristokrat, Pengacara, dan Militer
untuk berorasi. Mulai terbit matahari hinga terbenam proses demokrasi
berkangsung, dimulai untuk memilih Senator, Triumphus, Daerah Perwakilan Roma
di wilayah lain (Gubernur) bahkan Menteri pada saat itu juga dipilih secara
langsung (referendum). Panggung Roma ini tak sekedar riuh dengan politik seremonial.
Panggung demokrasi roma tak pernah meninggalkan gagasan layaknya panggung Palistra
Socrates di Athena. Penuh gagasan membangun Roma, memperluas wilayah kekuasaan,
pengaturan hukum baru, kepemilikan atas tanah, aturan pajak, bahkan ide republik
muncul dari panggung ini.
Saat itu muncul
seorang tokoh bernama Cicero, orang pertama yang mendapat gelar Sang Republik. Cicero
yang bukan dari kalangan Aristokrat Roma diangkat menjadi Sang Republik. Ide
menjadi republik sebagai kedudukan tertinggi dan terhormat yang tadinya
ditempati oleh seorang Triumphus (jendral menang perang), kini di tempati oleh
seorang sipil bernama Cicero dengan gagasan menyerahkan kepemilikan tanah
secara utuh kepada rakyat, bukan hanya milik aristocrat. Dan akhirnya Cicero
berhasil menyedot perhatian masyarakat Roma saat berhasil meenggagalkan kudeta
militer dan tetap mempertahankan Roma sebagai sebuah republik.
Kisah di atas
tertuang apik dalam novel “Imperium; a
acient novel of Rome” yang ditulis Robert Harris. Kisah ini sekaligus
menggambarkan panggung demokrasi dimana gagasan masih menjadi penarik utama, dimana
upaya merawat republic masih terjaga, di tengah hiruk pikuk perbutan kekuasaan.
Kini, Indonesia satu dekade terakhir disuguhi lakon politik panggung demokrasi menyerupai
Roma dalam siklus pemilihan umum (referendum). Kita melakukan pemilihan umum secara
berulang-ulang dengan intensitas bisa mencapai 7 kali (jika pemilihan kepalda
daerah dan presiden terjadi 2 putaran). Siklus demokrasi yang begitu sering
rentan dengan kejenuhan dan berujung pada apatisme terhadap hasil demokrasi.
Tahun ini, tahun 2014.
Tahun politik, begitu kita sering menyebutnya. Karena tahun ini menjadi
perhelatan pergantian kekuasaan legslatif dan eksekutif dalam skala nasional. Proses
yang melegislasi perpindahan tampuk kekuasaan. Demokrasilah satu-satunya proses
penyerahan mandat dari kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum. Namun apakah
suara yang diberikan rakyat akan digunakan untuk kesejahteraan? Satu-satunya
upaya untuk meyakini hal tersebut adalah dengan mengetahui platform partai
politik yang berkompetisi di pemilu 2014. Arah kebijakan dan program partai
dalam membangun Indonesia yang bisa kita dengar pada saat rapat umum
(kampanye). Gagasan atau rah kebijakn inilah yang menjadi alasan memilih parpol,
bukan hanya karena kepopuleran dan sebatas kenalan. Namun gagasan, sebuah
gagasan merawat republik.
Suguhan
Kampanye
Kampanye dihelat
sebagai salah satu saluran partai mendistribusikan ide dalam merawat republik,
namun lagi-lagi kita hanya disuguhi dengan goyangan dangdut erotis, menampilkan
tokoh-tokoh popular untuk meraih dukungan dari para fans, menyuguhi masyarakat
dengan orasi lebih tepatnya teriak-teriak. Pemahaman tentang dalil-dalil
bernegara tidak diajarkan di dalam partai politik. Seolah-olah ada kesibukan
mengurus rakyat, namun itu hanya tampil dalam upaya mempertahankan kursi
politik individual, dan bukan karena kesadaran untuk memberi pendidikan politik
pada rakyat. Pesta Demokrasi tanpa gagasan, minim pengetahuan, minim etika, Partai
Politik terus menjalankan panggung kosong, seakan menganggap masyarakat sebagai
konstituen tidak berpengetahuan tentang proses bernegara.
Dari hasil pantauan
KPPOD terhadap pemberitaan kampanye partai politik oleh media masa di enam
Media Nasional (Kompas, Media Indonesia, Sindo, Republika, Suara Pembaruan dan
Koran Tempo) menunjukkan bahwa selama masa kampanye partai politik miskin
menyuarakan gagasan. Dari hasil kuantifikasi terhadap pemberitaan kampanye
parpol yang mengandung gagasan atau penyampaian platform partai politik
menunjukkan bahwa intensitas partai politik dalam menyampaikan gagasan saat
kampanye sangat kecil.Pemberitaan Kampanye kali ini, hanya berada pada seputar
isu, proses penyelenggaraan kampanye. Seperti siapa juru kampanye nasional yang
mengisi?, siapa pengisi hiburannya? Isi hiburannya apa, dan dominasi isu elite
partai.
Catatan
Akhir
Secara keseluruhan,
kita melihat pemberitaan tentang kampanye partai politik yang miskin gagasan
mempertontonkan bahwa pesta demokrasi kita bukanlah sebuah upaya untuk merawat
dan memperbaiki bangsa ini. Kita diminta untuk memilih apa yang disajikan, suka
tidak suka sebagai warga negara kita diminta untuk memberikan suara pada hari
pemilihan, meski pada saat itu kita tidak tahu kebijakan apa yang nantinya akan
lahir dari pilihan yang telah kita berikan.
Masyarakat sebagai
pemegang kedaulatan penuh untuk memberikan kekuasaan kepada pemimpin berikutnya
diabsenkan dalam sistem politik. Meminjam kalimat dosen Filsafat UI Dr. Rocky Gerung,
bahwa kini Politik hanya menjadi kegiatan personal dari segelintir elit yang
terjebak dalam skenario yang saling mengunci, karena masing-masing terlibat
dalam persekutuan pasar gelap kekuasaan pada waktu Pemilu. Masyarakat sebagai
pemilik kedaulatan diabsenkan. Ketergantungan politik pada uang lah yang
menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini tidak ada hubungannya dengan
politik ideologi, karena relasi personal telah menyelesaikan persaingan
ideologi. Artinya, sistem kepartaian modern dan sistem parlemen kita tidak
tumbuh di dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena
kepentingan elitis individual.
Karena itu pula
sebenarnya Parpol tidak perlu repot-repot menyampaikan gagasan hanya perlu
menarik dengan popularitas dan membeli suara dengan uang, maka kekuasaaan dapat
diraih. Popularitas dan uang sungguh tidak menunjukkan substansi kemampuan
memberikan harapan. Harapan hanya mampu dibangun dengan gagasan, ide, sebuah
imajinasi negara apa yang kita inginkan dan bagaimana Indonesia kedepannya.
Hanya dengan imajinasi dan harapan itu pula kita berhimpun dalam barisan
sebagai warga negara Indonesia yang sama-sama berkeinginan membangun Indonesia
untuk menyejahterakan rakyatnya dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar