Kamis, 06 Maret 2014

Petikan Novel Kabut

Ini petikan dari novel yang tidak pernah ada, dan tidak pernah tertulis.
---***---
"Jangan kirim pesan lagi, kau tahu pasti kita tidak akan seperti dulu. situasi memaksa kita unruk berubah. jadi tolong jangan paksakan dirimu. jangan paksakan aku"

"Nanti akan ada yang menemani senja pulang, hingga gelap menjadi teman. lalu hujan turun bersama Tuhan. warisan purbakala itu kita simpan saja untuk sang Hujan.

Kali ini hujan tak turun dari awan yang mengubah diri. Tapi dari kita yang bedetup nada jantung seirama. Lalu kita kuyup dalam sakitnya diam.
*
"Hey, tampaknya kau obsesif kompulsif terhadap kabut" / "hmmm, tidak. Kabut itu juga dari awan, yang turun perlahan di saat dini hari. Ia turut menghantar sang matahari terbit. bukannya endeless conversation ini tentang menjmput dan menghantar matahari?"
 *

Susuran Sunyi

Aku menyusuri jalan sunyi itu, sedikit bergelombang dan berbatu. Ilalang menghiasi sisi-sisinya, jauh...

Aku melintasi setiap jengkalnya. Sambil berharap kau melintas dan melempar senyum.

Rasanya aneh aku merindu dan menggila.

Jarak dan jauh tak menjadi pertimbangan. Yg aku lihat hanya harapan atas senyummu.

Sunyi jalan aku telusuri, hanya gedung bronggok tanpa bersuara.

Aku menoleh punuh harap. Saat cinta berharap senyum.

Layak gila... Gelembung menguap. Ha... Ha... Ha... Apa kata senja, mereka tertawa.

Dingin mengadu suara, menggigil pada rindu aku tersenyum

Ini Malam di Kota ku Sayang

Sayang…Saat ini aku sedang kepanasan, di kamar gudang tanpa AC dan Kipas.
AC memang tak layak untukku karna ia milik para cukong atau pejabat.
Begitu juga dengan kipas bermotor. Tak bisa ia nangkiring di kamar gudang ini.

Sayang…
Masih ingat dengan kedai kopi di sudut jalan ini.
Kedai kopi tempat kita mencracau tentang kekesalan terhadap malang
Bersama malam aku menantimu disini
Meski tak mungkin aku tetap menunggu dari petang

Menunggu Mati

Lusuh memandang langit menunggu mati
Lemah berjalan terseok-seok menjawab tujuan
Usang memandang sengatan hati
Tak berujar degup-degup jantung menanti kafan

Telaga biru membelai mesra
sedangkan langit biru menjadi hantu

Lumut pohon bisu bertajuk
sedangkan jejak menghujam batu

Berdiri tanpa nyawa memandang langit
Aku mati pada nafas hati berjinjit
Lirih sendal jepit menopak pongah manusia kerempeng
Lusuh tulang di balut kaus putih

Aku meminta telaga biru menelanku dengan mesra
Saat rahasia langit biruh membuihku

Aku daun berguguran, menguning lalu mati
Aku pohon krontang menunggu mati

Rabu, 05 Maret 2014

Materi Resiprokal

Dunia kita hanyalah titian material

Tak ada rasa
Tak ada hati
Tak ada sensitivitas
Tak ada cinta disini

Dunia ini hanya resiprokal tanpa cinta.

Kita mencintai seorang ibu karena kita dilahirkan olehnya.
Kita menyukai makanan karena dia memberikan kenikmatan rasa.
Ada yang mencintai istri  karena ada yg di beri istri, apakah kasih sayang? apakah kepuasan?
Dunia ini hanya titian material.
Kita dianggap ada karna kita memberi.
Suatu saat tak ada lagi yang kita beri maka kita hanya daging.
Ada yang bilang masih ada nama.
Oh... Oh... Oh...
Soekarno masih ada nama karena masih dibutuhkan untuk pencarian sejarah. Jika saja soekarno hanya manusia gembel di pinggiran jalan tanpa pulang ia hanya tanah hari ini.

Dunia ini tak ada cinta.
Mencintai karena keindahan, mimpi, harapan, nilai, kenikmatan, akhirat. Cinta hanya karena...

Kita hanya bangkai hidup tanpa manfaat karna dunia ini hanya materi resiprokal.

Dengan Diam

Kita pernah bertemu dan aku hanya diam
hanya hati yang berbicara cinta dan aku diam
diam bukan emas dan aku tahu itu
tapi aku masih begitu ringkih untuk berujar satu

kini aku duduk di dinding maya
dan hati tak kunjung berjaya
sketsa-sketsa mu saja yang aku tahu
dan aku semakin rapuh

Sajak-sajak Kamu

Wajahnya bukan puisi, syair atau prosa yang melekuk menjadi bentuk. wajahmu lebih dari sekedar "kata" Damono, Ibandi, Bahkan Rumi. Ini lebih gila dari majnun yang menggilakan laila...

Lama tak saling menyapa, lalu semuanya begitu formal, melihat namamu saja aku menjadi kaku untuk menari di atas altar kata-kata untuk keakraban.

Aku berpuisi untuk untukmu dengan sajak yang aku tidak mengerti maknanya, dan apa yang ku rindu untukmu memang tak bermakna.
 

Awan yang melebur saja tak pernah marah pada hujan, dan kayu bakar tak marah pada api yang membuatnya menjadi abu begitu kata Damono menggambarkan cinta, dan saat ini aku berbicara dengan syair, izinkan wajahku menjadi wajah telaga
 

Merona saat disulut cinta, menangis saat batin kehilangan kata. kita hanya menyapa dan aku ingin lebih... 

Teman Malam

Teman malam yang paling setia adalah kenangan. Maka kucari rumahmu dalam kenangan, yang pintunya tak boleh ku ketuk. Karena kau sedang mununggu.

Menunggu ku mengetuk, meski saat ku ketuk tak akan ada pintu yang terbuka. Karena anakmu sedang menangis minta disusuin.

Waktu itu kau bilang kalau aku tak boleh lewat di depan rumahmu, karena kau akan melihatku melintas. Setiap hari di balik jendala kau menunggu, ingin memanggil tapi bisu.
*
Aku tak ingin mampir, atau melintas semenitpun. Tapi alamat mu kini ada dalam kenangan ku.

Jujur, aku rindu untuk bareng sejenak memandangmu, dengan lesung pipi, dan dagu yang indah

Nakalku berpikir, mengecup keningmu sembari mengatakan "Tuhan mendefenisikan keindahan melalui lukisan yg dinamai (lalu kusebut namamu)"

DEMOS

Presiden sekarang bingung dengan apa yang terjadi pada gelaran pemilihan pemimpin langsung di daerah. Kuantitasnya hanya menjabarkan berbagai kekacauan pemerintahan. Entah angka keberapa sudah yang menunjukkan hasil pilkadasung bukan menggelar pemerintahan yang baik, justru sebaliknya mendekam di prodeo dengan jabaran proyek-proyek pembawa mukaddimah pengadilan. Gubernur A tersangkut kasus, bupati B tersangka penyalahgunaan dana, walikota C dicopot jabatannya karena terlibat penggelembungan.

Kemarin lalu semua teriak yang “langsung” yang terbaik, sangat demokratis, karena murni kedaulatan rakyat. Saatnya rakyat turut serta menentukan nasib negaranya, saatnya rakyat berpartisipasi langsung demi kebaikannya, rakyatlah yang tau siapa yang terbaik menjadi pemimpinnya, suara rakyat adalah suara Tuhan. Sekarang, suara rakyat itu cuma suara Tuhan yang sangat sember dan tidak enak  senandungnya di berita-berita politik dalam negeri, dengungnya juga sampai ke luar negeri dan mencatat rekor dari hari ke hari. Entah Tuhan mana yang bersedia suaranya diwakili rakyat yang seperti ini, atau rakyat ini terlalu PeDe mewakili Tuhan bersuara.

T-O-P-E-N-G

Pada zaman Paleolitikum (± 30.000 tahun yang lalu), di dinding gua Trois Freses di sebelah selatan Perancis terdapat lukisan manusia berpakaian kulit binatang dan memakai topeng sedang menari, menyanyi dan memainkan instrumen. Begitulah topeng membersamai manusia, bahkan hingga mati pun topeng sering dibawa.
Tutankhamen sang Fir’aun, yang semasa hidup sibuk membaiat diri sebagai Tuhan, bertopeng ketika masuk liang lahat – mungkin ia masih berusaha mengelabui Tuhan sesungguhnya -. Ia menyembunyikan sesuatu hingga makamnya pun tak dapat disentuh, terpahat kutukan di sana “Kematian akan segera mendatangi yang menyentuh makam Pharaoh”.

Anak Jelaga Universitas

Ini kampus, semua mahasiswa, semua dosen, semua birokrasi intelektual, semua pekerja kebun, semua pembawa betor lima ribu jauh dekat, semua pedagang kaki lima, semua anak jalanan. Semua yang kusebutkan terakhir adalah yang agak istimewa… Ya, semua anak jalanan. Mereka yang berkaki jelaga, berkostum jelaga, bersuara jelaga, beransel jelaga, dan membawa jajanan jelaga.

Mereka berjelaga menyusuri lorong-lorong intelektual. Bagi semua mahasiswa, semua dosen, semua birokrasi intelektual, semua penghuni kebun binatang yang punya sedikit kuasa istimewa piramida di sini, mereka berwajah asimetris abstrak yang acak, makanya sering juga mereka seperti tak tervisualisasi dengan benar. Ada atau tiada semua di kampus sudah terbiasa atau tak sadar ada.

Kadang mereka terlalu compang camping jelaga, ransel mereka kardus jelaga dan botol jelaga, kaki jelaga mereka tidak berdecit saat menciumi batako, almamater mereka warna-warni jelaga.

Runtuhnya Sang Republik

Dimana burung Garuda dan Pancasila? mereka bisu, mereka hanya mythologi dan kata yang menghegemoni. Bohong. Negeri ini dibangun dengan pembangunan palsu, semuanya palsu. Pseudo Culture, Identitas Palsu, Negara Palsu. Chaos, titik. Kita nanti hanya akan bercerita "Dahulu kala Indonesia".

Hatta saja telah berteriak "Hanya ada satu negara yang menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu perbuatanku." Idih... manusia di negara ini berbuat apa? jawabnya adalah negara. Perbuatan korup; negara korup. Perbuatan palsu; negara palsu.

Dulunya ada Pancasila, katanya paripurna. tapi ia hanyalah kedok di balik kartel politik, tak lebih baik dari kartel narkoba. Busuk. Kemunafikan yang berbau jijik kemudian membusuk.

Garuda gagah berani, siapa bilang? Socrates saja gagal mendefenisikan "keberanian". Cicero katanya berani, alah... dia saja dibuang dari Roma, meski ia satu-satunya bapak Republik dari sipil. dia bilang "Dalam politik tidak ada kemengan kekal. hanya perguliran peristiwa tanpa sesal."

Opera Demonstrasi

Sekelompok orang berjingkat-jingkat sembari berteriak memberi keceman, kain panjang bertuliskan tuntutan digelar lebar. Di depan mereka sekompok manusia pongah berseragam berkecak pinggang lagak hansip hendak mementung maling, tak jarang bogem mentah siap mendarat di wajah para kelompok berjingkat. Penontong terbagi dua, yang satu menonton dari gedung berpendingin yang satu lagi mengupat hina karena hanya dirasa menambah kegaduhan

Derama jalanan yang belakangan sering terlihat, sebuah cara “rocker intelektual” menyanyikan lagu tuntutan yang diciptakan oleh rakyat. Nyanyian ini terkadang sumbang beraroma kemunafikan, terkadang hambar tanpa rasa, namun ia pernah menorehkan sejarahnya bahwa rocker ini punya masa dimana mereka pernah benar menyanyikan nyanyian soal rakyat.

Menanti Kejenuhan Indonesia

Sang demonstran (Soe Hok-Gie) hanya mengerti tentang revolusi, perubahan dan perbaiakan, tanpa pandangan pragmatis, khayalan kekuasaan dan kesenagan pribadi. Dengan nama rakyat memungut jiwa-jiwa yang terserak dalam barisan perjuangan kemerdekaan atas penjajahan bangsa sendiri.

 “Jika rakyat Indonesia terlalu melarat secara natural mereka akan melakukan perlawanan, dan jika hal tersebut terjadi maka chaos lah yang akan terjadi.  maka biarlah mahasiswa yang bergerak karena kita memang diciptakan untuk tahan terhadap tekanan”

Pernyataan ini tercetus pada tahun 1966, dimana gejolak pertikaian para penguasa berdampak pada kebijakan gila, menteri foya-foya, Sang Presiden “meng-import” istri, rakyat dijepit demi reaksi keberpihakan dan kekejaman propaganda.

Drama Ujung Kereta

Aku selalu ada di stasiun yang sama, dengan kreta yang sama di setiap senja jum'at. Mencari, siapa tahu kau ada di salah satu kursi penumpang

Drama ujung kereta di stasiun tugu, kita sajikan dengan mengulum bibir masing-masing hingga dini hari dijemput pagi

Kubawakan sebiji semangka dan pisang, "dari supermarket atau pasar?" tanyamu sambil mengacak rambut belah sampingku yg menjelang gondrong.

Dhzuhur, Ashar, & Magribh kurindukan. Setelah salam terakhir, aku memutar duduk, menghadapmu. "Do'a dulu bang" kau berujar sambil tertunduk.

Menatapmu adalah do'a dan dzikir. puja atas keindahan Tuhan yg tak terpamrih. Magribh telah datang waktu kereta untuk pulang.

Kau titikkan tangis rindu, saat bibir ku belum lepas dari keningmu. "Jum'at aku pulang, jangan khawatir." Kataku sambil mengecup kelopak matamu.

Rindu membuncah, kamis kau menyusulku dengan kereta yg sama, tapi hari itu, hari kamis tanpa jum'at.

Jum'at sore aku menyusulmu ke stasiun kereta. Tapi, dua pria menghantarku ke ruang beku yg bukan stasiun.

Kudapati kau tersenyum, dengan jilbab biru langit. Kukulum bibir mu, kukecup kening dan kelopak matamu, tapi kenapa kau diam.

Kupeluk erat, kubisikkan "di senja jum'at aku akan selalu datang menemuimu dengan kereta yang sama."

Dhzuhur, Ashar, & Magribh kurindukan. Setelah salam terakhir, aku memutar duduk, menghadapmu. Kini kau hanya tersenyum, lalu pulang.