Pada zaman Paleolitikum (± 30.000 tahun yang lalu), di dinding gua
Trois Freses di sebelah selatan Perancis terdapat lukisan manusia
berpakaian kulit binatang dan memakai topeng sedang menari, menyanyi dan
memainkan instrumen. Begitulah topeng membersamai manusia, bahkan
hingga mati pun topeng sering dibawa.
Tutankhamen sang Fir’aun,
yang semasa hidup sibuk membaiat diri sebagai Tuhan, bertopeng ketika
masuk liang lahat – mungkin ia masih berusaha mengelabui Tuhan
sesungguhnya -. Ia menyembunyikan sesuatu hingga makamnya pun tak dapat
disentuh, terpahat kutukan di sana “Kematian akan segera mendatangi yang
menyentuh makam Pharaoh”.
Ada banyak lakon di pentas
pertiwi negeri ini. Tiap lakon mengenakan topeng beragam, satu wajah,
dua wajah, seribu wajah. Topeng dimaksudkan untuk menutup yang tak mau
diperlihatkan. Bertopeng belum berarti penyembunyi yang handal. Setiap
topeng terselip nada pesan penyamar wajah.
Lakon topeng kali ini
penuh cerita yang membuat penontonnya bahkan lupa bagaimana cara
menangis, kita yang lelah, kita yang menjadi remah dalam “Lakon Koruptor
bertopeng”. Setiap saat begitulah kita ketika mengintip jendela
informasi. Semua menjadi dugaan, tersangka, terdakwah, fakta, konspirasi
bernada korupsi. Tak memandang gender, posisi, kelembagaan, koruptor
menyapuh bersih lini kenegaraan dari gawang hingga tembok pertahanan.
Kita sedang membangun peradaban.
Robert Klitgaard punya
cerita tentang koruptor (pasti) bertopeng ini, guru besar kebijakan
publik Jhon F. Kennedy ini merumuskan korupsi sebagai gabungan monopoli
yang bersetubuh dengan kekuasaan dikurang akuntabilitas. Konspirasi
kekuasan menutup yang seharusnya bisa terhitung.
Lakon
yang memerihkan hati, meremas perut, menaikkan asam lambung karena
kelaparan. Namun para pelakon itu punya topeng, hingga Themis sang dewi
keadilan pun tak mampu membuka topeng mereka, untuk menjerat dan
menuntut tanggung jawab atas perih penonton dari lakon mereka.
Partai
menjadi pabrikan topeng yang terus merasa tidak bersalah, menyetir
Indonesia ke arah “Negara Partitokrasi”, tentunya ini tidak menjadi panasea dalam kronisnya penyakit korupsi di bangsa ini.
Namun,
seperih apapun lakon topeng. Kita memang bangsa yang sangat menghargai
topeng. Seperti saat kita menyaksikan reog ponorogo yang bertampang
mengerikan. Kita semua tetap riuh bertepuk tangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar