Presiden sekarang bingung dengan apa yang terjadi pada gelaran
pemilihan pemimpin langsung di daerah. Kuantitasnya hanya menjabarkan
berbagai kekacauan pemerintahan. Entah angka keberapa sudah yang
menunjukkan hasil pilkadasung bukan menggelar pemerintahan yang baik,
justru sebaliknya mendekam di prodeo dengan jabaran proyek-proyek
pembawa mukaddimah pengadilan. Gubernur A tersangkut kasus, bupati B
tersangka penyalahgunaan dana, walikota C dicopot jabatannya karena
terlibat penggelembungan.
Kemarin lalu semua teriak yang
“langsung” yang terbaik, sangat demokratis, karena murni kedaulatan
rakyat. Saatnya rakyat turut serta menentukan nasib negaranya, saatnya
rakyat berpartisipasi langsung demi kebaikannya, rakyatlah yang tau
siapa yang terbaik menjadi pemimpinnya, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Sekarang, suara rakyat itu cuma suara Tuhan yang sangat sember dan
tidak enak senandungnya di berita-berita politik dalam negeri,
dengungnya juga sampai ke luar negeri dan mencatat rekor dari hari ke
hari. Entah Tuhan mana yang bersedia suaranya diwakili rakyat yang
seperti ini, atau rakyat ini terlalu PeDe mewakili Tuhan bersuara.
Kesibukan
menghitung angka kerugian negara dengan gelaran langsung yang dianggap
tidak efektif bagi jalannya pemeritahan membuat presiden harus segera
mengevaluasi kejadian janggal di tiap daerah. Dimana pembakaran karena
pilkada, dimana kecurangan melanda, dimana money politics
mencair bermilyar-milyar, dimana keberatan hasil pemilihan merancak,
dimana masalahnya, dimana, dimana. Lagu Ayu Ting Ting jangan-jangan
menjadi lagu wajib sang presiden galau yang suka menyanyi dan mencipta
lagu ini.
Presiden ingin memperbaiki, presiden mencoba
memberi format baru yang lebih canggih untuk kelak, presiden ‘ingin
benar-benar tahu’ apa masalahnya. Jika biasanya presiden kurang suka
menggunakan lembaga yang sudah ada di negara dan lebih memilih membentuk
lembaga independen baru, kali ini tidak begitu, beliau tidak repot
dengan pembentukan tim peneliti baru, presiden ‘hanya’ menurunkan
peneliti resmi negara (LIPI.red), memerintahkan riset ke seluruh
Indonesia. Tesis, antitesis, sintesis disusun, semua manusia Indonesia
coba dikorek untuk sebuah ekstraksi baru penyelamatan bangsa. Begitu
serius dan rumit bukan main usaha negara ini.
Dahulu, awal
gelaran langsung itu ada dalam rangka untuk memberantas korupsi yang
ternyata sudah menjelma kerajaan sebuah keluarga besar beserta kroninya,
elit yang penuh dengan anasir kekuasaan jalan semua penyelewengan
dimulai. Kemudian pemilihan langsung dari pusat ke daerah dianggap
memberikan seluasnya kepada rakyat untuk berpendapat dan turut serta
menentukan baik-buruk negara. Dengan segenap rakyat yang turut serta
dalam pemilihan, dapat diminimalisir kecurangan karena kemungkinan untuk
membeli suara rakyat yang begitu banyak di negara ini mengecil. Jadilah
suara rakyat benar bisa menjadi suara Tuhan. Kehendak rakyat lah yang
terbaik.
Belajar dari Yunani
Namun
sepertinya, sebelum memilih gelaran langsung yang sekarang malah semakin
menyedihkan ini, pengambil keputusan saat itu mungkin lupa untuk
membuka sejarah tempat demokrasi dilahirkan dan diternakkan berabad-abad
lamanya, lupa mempertimbangkan kemungkinan yang sudah sangat jelas
tercatat oleh para pengikut Socrates apa yang terjadi berikutnya dengan
demokrasi, lupa memberikan antisipasi untuk keburukan yang sudah jelas
menumbangkan demokrasi di masa 400 SM itu.
Dahulu,
Socrates mengatakan demokrasi adalah nonsense, suara rakyat sering kali
suara gombal. Memilih para pengelola pemerintahan dengan cara pungutan
suara itu tak masuk akal. Plato kemudian membuktikannya, kaum demokrat
yang menang pada waktu itu menganggap bahwa warga biasa harus hadir di ekklesia. Akhirnya
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memang hendak dihindarkan dari
kekuasaan para orang kaya, penuh dengan segenap warga. Tiap warga yang
hadir pun memperoleh imbalan uang, kurang lebih memadai sebagai
pendapatan satu hari.
Akhirnya kehadiran si warga biasa
itu dipersalahkan sebagai sebab merosotnya kualitas mutu majelis.
Demokrasi Yunani kuno akhirnya berakhir, setelah sekitar satu abad turun
naik. Di hari-hari menjelang runtuhnya sistem itu, Athena pun
berkembang jadi sejenis “republik para advokat”. Yang didengar khalayak
adalah para orator. Tak heran bila Plato mengernyitkan alis di hadapan
kebisingan oratoria. Para orator, baginya, hanyalah pemberi racun yang
akhirnya membunuh demokrasi sendiri.
Belajar dari Yunani di masa lalu, bukankah money politics,
partisipasi yang dibeli dalam tiap gelaran pemilihan langsung yang
terjadi sekarang ini sudah terjadi 400 SM lalu di Athena?, persis sama.
Dari masa itu hingga sekarang, suara warga masih bisa dibeli, berapapun
banyaknya jumlah warga, bervariasi harganya. Gelaran pemilihan langsung
juga menjadi gelaran penambahan jumlah pendapatan harian warga.
Jika
di masa itu, orang kaya menjadi tersingkir dari majelis, dan majelis
hanya berisi orang yang membutuhkan uang untuk hidup satu hari. Maka, di
sini, hanya orang kaya yang bisa berada di majelis dan kursi kekuasaan
pengambil keputusan, karena mereka yang bisa membayar suara warga untuk
mendapatkan kursi, kemudian setelah berkuasa, harus sibuk mengumpulkan
pundi uang kembalian sebagai modal untuk gelaran langsung berikutnya,
untuk kelanggengan kekuasaan.
Hasil akhir dulu di Yunani
dan sekarang di Indonesia juga sama, merosotnya kualitas mutu majelis
dan pemegang kekuasaan lainnya. Sama-sama tidak menghasilkan pemimpin
dan pengambil keputusan yang bisa memperbaiki negara. Sibuk dengan
pengumpulan uang dan aksi pencitraan untuk meraup kuantitas suara
berikutnya, berikutnya, dan berikutnya. Logika mayoritas terus dikejar,
logika kualitas dikaburkan.
Kembali ke Pemilihan Lalu
Kemudian
dengan segala kegagalan yang ada, gelaran pemilihan langsung
kemungkinan akan dikembalikan ke masa sebelumnya, tertutup, hanya
sebagian orang tertentu yang memiliki wewenang, memilih siapa yang
berhak dengan kekuasaan, untuk mengembalikan kualitas yang hilang,
mempercepat efektifitas pemerintahan, menciutkan biaya gelaran
pemilihan, meminimalisir kecurangan dan politik uang.
Pemaparan
berbagai masalah hasil gelaran pemilihan langsung diharapkan mampu
menjadi penguat alasan bahwa yang lalu lebih bermutu. Namun, apakah
semua rela untuk kembali menyerahkan apa yang sudah menjadi hak dan
kewajiban bersama setiap kali gelaran pemilihan langsung ditarik kembali
atas nama perbaikan lain. Pemilihan langsung dengan segala
kegagalannya, yang telah memberikan kemampuan kepada warga biasa untuk
mencoba andil dalam memikirkan siapa yang terbaik untuk menjadi
pemimpinnya.
Sebagian akan berpendapat, kembali ke sistem
pemilihan lalu adalah kemunduran, karena sudah sama-sama kita tahu
bagaimana hasilnya selama 32 tahun. Sebagian akan berpendapat, apapun
yang terjadi saat ini adalah proses pematangan demokrasi. Kebobrokan
yang sekarang ada, tetap lebih baik karena semua rakyat turut serta
dalam pemilihan langsung.
Namun, bukankah tiap daerah di Indonesia
sesungguhnya sudah memiliki tata cara memilih pemimpinnya (kepala suku,
kepala adat, pemimpin kampung, dll.) sendiri dari dulu kala, bahkan
sebelum menjadi Indonesia?. Tata cara yang memiliki nilai-nilai aturan
yang terjaga, persyaratan yang mumpuni, dengan ikatan yang lebih erat,
terhindar dari perolehan kuantitas semata dan kualitas yang dihasilkan
juga terjaga. Mungkin selama ini, sistem coba-coba, bongkar-pasang,
bolak-balik, pemilihan pemimpin yang sudah merusak tatanan yang
sebenarnya sudah ada dan berjalan di tiap daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar