Rabu, 05 Maret 2014

DEMOS

Presiden sekarang bingung dengan apa yang terjadi pada gelaran pemilihan pemimpin langsung di daerah. Kuantitasnya hanya menjabarkan berbagai kekacauan pemerintahan. Entah angka keberapa sudah yang menunjukkan hasil pilkadasung bukan menggelar pemerintahan yang baik, justru sebaliknya mendekam di prodeo dengan jabaran proyek-proyek pembawa mukaddimah pengadilan. Gubernur A tersangkut kasus, bupati B tersangka penyalahgunaan dana, walikota C dicopot jabatannya karena terlibat penggelembungan.

Kemarin lalu semua teriak yang “langsung” yang terbaik, sangat demokratis, karena murni kedaulatan rakyat. Saatnya rakyat turut serta menentukan nasib negaranya, saatnya rakyat berpartisipasi langsung demi kebaikannya, rakyatlah yang tau siapa yang terbaik menjadi pemimpinnya, suara rakyat adalah suara Tuhan. Sekarang, suara rakyat itu cuma suara Tuhan yang sangat sember dan tidak enak  senandungnya di berita-berita politik dalam negeri, dengungnya juga sampai ke luar negeri dan mencatat rekor dari hari ke hari. Entah Tuhan mana yang bersedia suaranya diwakili rakyat yang seperti ini, atau rakyat ini terlalu PeDe mewakili Tuhan bersuara.



Kesibukan menghitung angka kerugian negara dengan gelaran langsung yang dianggap tidak efektif bagi jalannya pemeritahan membuat presiden harus segera mengevaluasi kejadian janggal di tiap daerah. Dimana pembakaran karena pilkada, dimana kecurangan melanda, dimana money politics mencair bermilyar-milyar, dimana keberatan hasil pemilihan merancak, dimana masalahnya, dimana, dimana. Lagu Ayu Ting Ting jangan-jangan menjadi lagu wajib sang presiden galau yang suka menyanyi dan mencipta lagu ini.

Presiden ingin memperbaiki, presiden mencoba memberi format baru yang lebih canggih untuk kelak, presiden ‘ingin benar-benar tahu’ apa masalahnya. Jika biasanya presiden kurang suka menggunakan lembaga yang sudah ada di negara dan lebih memilih membentuk lembaga independen baru, kali ini tidak begitu, beliau tidak repot dengan pembentukan tim peneliti baru, presiden ‘hanya’ menurunkan peneliti resmi negara (LIPI.red), memerintahkan riset ke seluruh Indonesia. Tesis, antitesis, sintesis disusun, semua manusia Indonesia coba dikorek untuk sebuah ekstraksi baru penyelamatan bangsa. Begitu serius dan rumit bukan main usaha negara ini.

Dahulu, awal gelaran langsung itu ada dalam rangka untuk memberantas korupsi yang ternyata sudah menjelma kerajaan sebuah keluarga besar beserta kroninya, elit yang penuh dengan anasir kekuasaan jalan semua penyelewengan dimulai. Kemudian pemilihan langsung dari pusat ke daerah dianggap memberikan seluasnya kepada rakyat untuk berpendapat dan turut serta menentukan baik-buruk negara. Dengan segenap rakyat yang turut serta dalam pemilihan, dapat diminimalisir kecurangan karena kemungkinan untuk membeli suara rakyat yang begitu banyak di negara ini mengecil. Jadilah suara rakyat benar bisa menjadi suara Tuhan. Kehendak rakyat lah yang terbaik.

Belajar dari Yunani
Namun sepertinya, sebelum memilih gelaran langsung yang sekarang malah semakin menyedihkan ini, pengambil keputusan saat itu mungkin lupa untuk membuka sejarah tempat demokrasi dilahirkan dan diternakkan berabad-abad lamanya, lupa mempertimbangkan kemungkinan yang sudah sangat jelas tercatat oleh para pengikut Socrates apa yang terjadi berikutnya dengan demokrasi, lupa memberikan antisipasi untuk keburukan yang sudah jelas menumbangkan demokrasi di masa 400 SM itu.  

Dahulu, Socrates mengatakan demokrasi adalah nonsense, suara rakyat sering kali suara gombal. Memilih para pengelola pemerintahan dengan cara pungutan suara itu tak masuk akal. Plato kemudian membuktikannya, kaum demokrat yang menang pada waktu itu menganggap bahwa warga biasa harus hadir di ekklesia. Akhirnya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memang hendak dihindarkan dari kekuasaan para orang kaya, penuh dengan segenap warga. Tiap warga yang hadir pun memperoleh imbalan uang, kurang lebih memadai sebagai pendapatan satu hari.

Akhirnya kehadiran si warga biasa itu dipersalahkan sebagai sebab merosotnya kualitas mutu majelis. Demokrasi Yunani kuno akhirnya berakhir, setelah sekitar satu abad turun naik. Di hari-hari menjelang runtuhnya sistem itu, Athena pun berkembang jadi sejenis “republik para advokat”. Yang didengar khalayak adalah para orator. Tak heran bila Plato mengernyitkan alis di hadapan kebisingan oratoria. Para orator, baginya, hanyalah pemberi racun yang akhirnya membunuh demokrasi sendiri.

Belajar dari Yunani di masa lalu, bukankah money politics, partisipasi yang dibeli dalam tiap gelaran pemilihan langsung yang terjadi sekarang ini sudah terjadi 400 SM lalu di Athena?, persis sama. Dari masa itu hingga sekarang, suara warga masih bisa dibeli, berapapun banyaknya jumlah warga, bervariasi harganya. Gelaran pemilihan langsung juga menjadi gelaran penambahan jumlah pendapatan harian warga.

Jika di masa itu, orang kaya menjadi tersingkir dari majelis, dan majelis hanya berisi orang yang membutuhkan uang untuk hidup satu hari. Maka, di sini, hanya orang kaya yang bisa berada di majelis dan kursi kekuasaan pengambil keputusan, karena mereka yang bisa membayar suara warga untuk mendapatkan kursi, kemudian setelah berkuasa, harus sibuk mengumpulkan pundi uang kembalian sebagai modal untuk gelaran langsung berikutnya, untuk kelanggengan kekuasaan.

Hasil akhir dulu di Yunani dan sekarang di Indonesia juga sama, merosotnya kualitas mutu majelis dan pemegang kekuasaan lainnya. Sama-sama tidak menghasilkan pemimpin dan pengambil keputusan yang bisa memperbaiki negara. Sibuk dengan pengumpulan uang dan aksi pencitraan untuk meraup kuantitas suara berikutnya, berikutnya, dan berikutnya. Logika mayoritas terus dikejar, logika kualitas dikaburkan.

Kembali ke Pemilihan Lalu
Kemudian dengan segala kegagalan yang ada, gelaran pemilihan langsung kemungkinan akan dikembalikan ke masa sebelumnya, tertutup, hanya sebagian orang tertentu yang memiliki wewenang, memilih siapa yang berhak dengan kekuasaan, untuk mengembalikan kualitas yang hilang, mempercepat efektifitas pemerintahan, menciutkan biaya gelaran pemilihan, meminimalisir kecurangan dan politik uang.

Pemaparan berbagai masalah hasil gelaran pemilihan langsung diharapkan mampu menjadi penguat alasan bahwa yang lalu lebih bermutu. Namun, apakah semua rela untuk kembali menyerahkan apa yang sudah menjadi hak dan kewajiban bersama setiap kali gelaran pemilihan langsung ditarik kembali atas nama perbaikan lain. Pemilihan langsung dengan segala kegagalannya, yang telah memberikan kemampuan kepada warga biasa untuk mencoba andil dalam memikirkan siapa yang terbaik untuk menjadi pemimpinnya.

Sebagian akan berpendapat, kembali ke sistem pemilihan lalu adalah kemunduran, karena sudah sama-sama kita tahu bagaimana hasilnya selama 32 tahun. Sebagian akan berpendapat, apapun yang terjadi saat ini adalah proses pematangan demokrasi. Kebobrokan yang sekarang ada, tetap lebih baik karena semua rakyat turut serta dalam pemilihan langsung.
Namun, bukankah tiap daerah di Indonesia sesungguhnya sudah memiliki tata cara memilih pemimpinnya (kepala suku, kepala adat, pemimpin kampung, dll.) sendiri dari dulu kala, bahkan sebelum menjadi Indonesia?. Tata cara yang memiliki nilai-nilai aturan yang terjaga, persyaratan yang mumpuni, dengan ikatan yang lebih erat, terhindar dari perolehan kuantitas semata dan kualitas yang dihasilkan juga terjaga. Mungkin selama ini, sistem coba-coba, bongkar-pasang, bolak-balik, pemilihan pemimpin yang sudah merusak tatanan yang sebenarnya sudah ada dan berjalan di tiap daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar