Sang demonstran (Soe Hok-Gie) hanya mengerti tentang revolusi,
perubahan dan perbaiakan, tanpa pandangan pragmatis, khayalan kekuasaan
dan kesenagan pribadi. Dengan nama rakyat memungut jiwa-jiwa yang
terserak dalam barisan perjuangan kemerdekaan atas penjajahan bangsa
sendiri.
“Jika rakyat Indonesia terlalu melarat secara natural mereka akan melakukan perlawanan, dan jika hal tersebut terjadi maka chaos lah yang akan terjadi. maka biarlah mahasiswa yang bergerak karena kita memang diciptakan untuk tahan terhadap tekanan”
Pernyataan
ini tercetus pada tahun 1966, dimana gejolak pertikaian para penguasa
berdampak pada kebijakan gila, menteri foya-foya, Sang Presiden
“meng-import” istri, rakyat dijepit demi reaksi keberpihakan dan
kekejaman propaganda.
Kondisi dimana BBM di naikkan,
kebijakan devaluasi yang benar-benar gila. Mahasiswa bergerak maju,
turun ke jalan, berteriak menyuarakan hati rakyat. Di terjang panas, gas
air mata, pukulan, tendangan pihak keamanan mereka tiada peduli. Chaos
mungkin akan terjadi jika semua tak akan sampai, namun akhirnya
perjuangan itu memberi makna tentang hakikat sebuah pergerakan mahasiswa
dalam kancah perubahan nasional, karena chaos oleh mahasiswa adalah chaos yang dapat diarahkan.
Tahun Lelucon Indonesia
Kini
Indonesia memasuki tahun 2011, sekaligus tahun yang membodohkan, penuh
kebohongan. Kondisi ini akan menimbulkan titik jenuh di masyarakat atas
ketidakpeduliannya terhadap kondisi kebangsaan. Korupsi merajalela,
hukum tak lagi menjadi penegak kebenaran dan keadilan, konspirasi
ekonomi dan kuasa tingkat tinggi melindas, kebijakan tak lagi berpihak,
bahkan data telah menjadi kebodohan baru di Indonesia.
Disaat
masyarakat jenuh dan hanya terdiam, mahasiswa pun nyaman dengan
perjuangan pencapaian gelar di belakang nama, meraka pikir semua itu
mampu merubah situasi kehidupan pribadi. Tak ada lagi yang peduli dengan
akan naiknya harga BBM, yang akan menyebabkan banyak supir mati
terjepit uang setoran. Mati Karena tergilas roda kendaraannya sendiri,
sedang sang menteri koordinator bidang perekonomian asik dengan bangga
menunjukkan kemajuan ekonomi Indonesia diatas kertas, menteri berambut
putih tak tahu malu, hanya menjilat dan bersolek di depan pak "lembek"
tak bertanggung jawab.
Tak ada penuntasan atas kasus-kasus nasioanal, semuanya diserahkan kepada lembaga-lembaga ad-hoc, KPK di bentuk tanpa pembenahan di tubuh POLRI dan KEJAKSAAN, Satgas anti mafia hukum tak bertaring di jadikan bumper,
dia dengan istana cikeasnya hanya memadu kasih dengan putri mantan
prajurit yang sampai sekarang banyak diduga terlibat dengan kasus
pembunuhan masal 1965.
Entah apa yang dia pikirkan, hanya
menyolek diri, namun semua terbengkalai, kahabisan akal atau bodoh, kita
pun tak mengerti. Saat harga cabai melambung tinggi, solusi yang
ditawarkan adalah mengurangi makan cabai, sebuah pernyataan gila dari
seorang menteri yang telah dibayar dan diberikan fasilitas terbaik di
negeri ini.
Ditengah kekisruhan hukum, rakyat semakin
disakiti dengan diberikannya remisi kepada seorang koruptor kelas berat
yang digelari Ayin, Gayus malah minta untuk diangkat mejadi staf ahli di
bidang hukum. Gelora semangat olahraga sebagai pengobat rasa sakit pun
ikut terseret dalam ranah politik. Kebanggan masyarakat atas permain
timnas sepak bola di piala AFF manjadi bangkai tentang busuknya
perpolitikan dan birokrasi Indonesia.
Mahasiswa dan Imajinasi Ketololannya
Ketololan
bangsa ini yang tak mau berteriak, dan mahasiswanya yang nyaman dengan
istilah negarawan. Meraka hanya berpikir tentang nilai dan kesejahteraan
pribadi ketika menjadi antek-antek politik, bersolek dan
berdandan dengan indah membangun citra politik. Sama saja dengn lontong
dan banci kaleng di pinggir jalan. Atau malah lontong itu lebih baik
karena mengenyangkan dan banci dengan kejujurannya.
Tak
ada pergerakan mahasiswa yang benar-benar murni memperjuangkan
penderitaan berkepanjangan ini, pembodohan gila dari penguasa
menyamankan mahasiswa dengan almamaternya, pasrah dengan kondisi duduk anteng dengan kerangka numerikal manusia, gerakan mahasiswa yang berbentuk dalam organisasi pun sibuk membangun relasi guna menampung khayalan tolol mereka.
Semua berbahagia dengan iming-iming mahasiswa calon negarawan. Lebih baik kita chaos kan negeri ini ketimbang hidup diatas penderitaan rakyat. Namun chaos
itu alangkah baiknya datang dari kalangan intelektual. Saudaraku
yakinlah ada jalan lain yang masih bisa kita perjuangkan tanpa harus
dengan khayalan tolol tentang kekuasaan.
Tingkat kejenuhan
masyarakat ini sungguh mengkhawatirkan, gelombang gerakan besar dari
masyarakat tak akan terbendung. Imajinasi masyarakat akan kebanggaan
menjadi bangsa Indonesia kian pudar. Kalau tidak kita yang mengerti dan
telah didudukkan dalam istana “pertinkaian intelektual” siapa lagi yang
kita harapkan membangun bangsa ini. Bangkit dari kejenuhan dan
keputusasaan kita, membangun sebuah gerakan murni tanpa khayalan.
Sekalipun jika bangsa ini nanti menghadapi chaos, chaos itu adalah rekayasa sosial kita.
Merdeka…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar