Rabu, 05 Maret 2014

Menanti Kejenuhan Indonesia

Sang demonstran (Soe Hok-Gie) hanya mengerti tentang revolusi, perubahan dan perbaiakan, tanpa pandangan pragmatis, khayalan kekuasaan dan kesenagan pribadi. Dengan nama rakyat memungut jiwa-jiwa yang terserak dalam barisan perjuangan kemerdekaan atas penjajahan bangsa sendiri.

 “Jika rakyat Indonesia terlalu melarat secara natural mereka akan melakukan perlawanan, dan jika hal tersebut terjadi maka chaos lah yang akan terjadi.  maka biarlah mahasiswa yang bergerak karena kita memang diciptakan untuk tahan terhadap tekanan”

Pernyataan ini tercetus pada tahun 1966, dimana gejolak pertikaian para penguasa berdampak pada kebijakan gila, menteri foya-foya, Sang Presiden “meng-import” istri, rakyat dijepit demi reaksi keberpihakan dan kekejaman propaganda.



Kondisi dimana BBM di naikkan, kebijakan devaluasi yang benar-benar gila. Mahasiswa bergerak maju, turun ke jalan, berteriak menyuarakan hati rakyat. Di terjang panas, gas air mata, pukulan, tendangan pihak keamanan mereka tiada peduli. Chaos mungkin akan terjadi jika semua tak akan sampai, namun akhirnya perjuangan itu memberi makna tentang hakikat sebuah pergerakan mahasiswa dalam kancah perubahan nasional, karena chaos oleh mahasiswa adalah chaos yang dapat diarahkan.

Tahun Lelucon Indonesia

Kini Indonesia memasuki tahun 2011, sekaligus tahun yang membodohkan, penuh kebohongan. Kondisi ini akan menimbulkan titik jenuh di masyarakat atas ketidakpeduliannya terhadap kondisi kebangsaan. Korupsi merajalela, hukum tak lagi menjadi penegak kebenaran dan keadilan, konspirasi ekonomi dan kuasa tingkat tinggi melindas, kebijakan tak lagi berpihak, bahkan data telah menjadi kebodohan baru di Indonesia.

Disaat masyarakat jenuh dan hanya terdiam, mahasiswa pun nyaman dengan perjuangan pencapaian gelar di belakang nama, meraka pikir semua itu mampu merubah situasi kehidupan pribadi. Tak ada lagi yang peduli dengan akan naiknya harga BBM, yang akan menyebabkan banyak supir mati terjepit uang setoran. Mati Karena tergilas roda kendaraannya sendiri, sedang sang menteri koordinator bidang perekonomian asik dengan bangga menunjukkan kemajuan ekonomi Indonesia diatas kertas, menteri berambut putih tak tahu malu, hanya menjilat dan bersolek di depan pak "lembek" tak bertanggung jawab.

Tak ada penuntasan atas kasus-kasus nasioanal, semuanya diserahkan kepada lembaga-lembaga ad-hoc, KPK di bentuk tanpa pembenahan di tubuh POLRI dan KEJAKSAAN, Satgas anti mafia hukum tak bertaring di jadikan bumper, dia dengan istana cikeasnya hanya memadu kasih dengan putri mantan prajurit  yang sampai sekarang banyak diduga terlibat dengan kasus pembunuhan masal 1965.

Entah apa yang dia pikirkan, hanya menyolek diri, namun semua terbengkalai, kahabisan akal atau bodoh, kita pun tak mengerti. Saat harga cabai melambung tinggi, solusi yang ditawarkan adalah mengurangi makan cabai, sebuah pernyataan gila dari seorang menteri yang telah dibayar dan diberikan fasilitas terbaik di negeri ini.

Ditengah kekisruhan hukum, rakyat semakin disakiti dengan diberikannya remisi kepada seorang koruptor kelas berat yang digelari Ayin, Gayus malah minta untuk diangkat mejadi staf ahli di bidang hukum. Gelora semangat olahraga sebagai pengobat rasa sakit pun ikut terseret dalam ranah politik. Kebanggan masyarakat atas permain timnas sepak bola di piala AFF manjadi bangkai tentang busuknya perpolitikan dan birokrasi Indonesia.

Mahasiswa dan Imajinasi Ketololannya

Ketololan bangsa ini yang tak mau berteriak, dan mahasiswanya yang nyaman dengan istilah negarawan. Meraka hanya berpikir tentang nilai dan kesejahteraan pribadi ketika menjadi antek-antek politik, bersolek dan berdandan dengan indah membangun citra politik. Sama saja dengn lontong dan banci kaleng di pinggir jalan. Atau malah lontong itu lebih baik karena mengenyangkan dan banci dengan kejujurannya.

Tak ada pergerakan mahasiswa yang benar-benar murni memperjuangkan  penderitaan berkepanjangan ini, pembodohan gila dari penguasa menyamankan mahasiswa dengan almamaternya, pasrah dengan kondisi duduk anteng dengan kerangka numerikal manusia, gerakan mahasiswa yang berbentuk dalam organisasi pun sibuk membangun relasi guna menampung khayalan tolol mereka.

Semua berbahagia dengan iming-iming mahasiswa calon negarawan. Lebih baik kita chaos kan negeri ini ketimbang hidup diatas penderitaan rakyat. Namun chaos itu alangkah baiknya datang dari kalangan intelektual. Saudaraku yakinlah ada jalan lain yang masih bisa kita perjuangkan tanpa harus dengan khayalan tolol tentang kekuasaan.

Tingkat kejenuhan masyarakat ini sungguh mengkhawatirkan, gelombang gerakan besar dari masyarakat tak akan terbendung. Imajinasi masyarakat akan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia kian pudar. Kalau tidak kita yang mengerti dan telah didudukkan dalam istana “pertinkaian intelektual” siapa lagi yang kita harapkan membangun bangsa ini. Bangkit dari kejenuhan dan keputusasaan kita, membangun sebuah gerakan murni tanpa khayalan. Sekalipun jika bangsa ini nanti menghadapi chaos, chaos itu adalah rekayasa sosial kita.

Merdeka…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar