Sekelompok orang berjingkat-jingkat sembari berteriak memberi
keceman, kain panjang bertuliskan tuntutan digelar lebar. Di depan
mereka sekompok manusia pongah berseragam berkecak pinggang lagak hansip
hendak mementung maling, tak jarang bogem mentah siap mendarat di wajah
para kelompok berjingkat. Penontong terbagi dua, yang satu menonton
dari gedung berpendingin yang satu lagi mengupat hina karena hanya
dirasa menambah kegaduhan
Derama jalanan yang
belakangan sering terlihat, sebuah cara “rocker intelektual” menyanyikan
lagu tuntutan yang diciptakan oleh rakyat. Nyanyian ini terkadang
sumbang beraroma kemunafikan, terkadang hambar tanpa rasa, namun ia
pernah menorehkan sejarahnya bahwa rocker ini punya masa dimana mereka
pernah benar menyanyikan nyanyian soal rakyat.
Tangan
terkempal menghadap kelangit sebagai simbol perlawanan, namun hanya
mendapat cibiran dari orang yang merasa terganggu, atau berhadiah
kepalan dari para pria berseragam dan voucer menginap gratis
semalam di hotel “prodeo”. Sedangkan yang di mintai pertanggungjawaban
hanya melempar senyum dari sudut jendela ruangan berpendingin dan tak
jarang ditemani skretaris genit atau para penjilat menunggu jipratan
rupiah dan projek.
Sebuah turbulensi dahsyat terjadi,
semua kehilangan harapan atas apa yang disebut Republik, sang pengemban
wakil rakyat mengalami defisit akal. dari pengemis suara rakyat saat
pemilu menjadi arogansi terhadap rakyat menggadai kuasa pada praktik
politik transaksional.
Pemilik kuasa penuh di negeri ini
hanya sibuk mengurusi ranjang biru kantong suaranya, dan tak jarang
bernyanyi melonkolis lagaknya vokalis band yang sedang ditinggal selama
tiga kali lebaran tiga kali puasa. Presiden cengeng yang suka merengek
hanya ada di negeri ini.
Di tengah semua turbulensi ini, harapan yang diberikan kepada gerakan ekstraparlementer hilang tak bertuan atas prilaku hypocrite
peniup TOA, menuai kutukan saat dijalan dan menuai kecaman dari semua
pihak dari kekisruhan yang di munculkan. zaman ternyata telah berubah
para rocker ini tak lagi mendapat tempat di sisi para suporternya, dan mereka ternyata bernyanyi tanpa lirik dan nada perjuangan.
Kita
semua ternyat Absen merawat Republik, sebuah warisan sejarah yang di
darah demokrasinya kita suntikkan setan berjiwa koruptor, kemunafikan,
dan cengeng. Konsolidasi demokrasi memang sudah tertinggal oleh
akumulasi kekuasaan. Enersi yang pernah kita himpun untuk
menghentikan otoritarianisme, tidak lagi cukup untuk
menggerakkan perubahan. Tidak aneh menyaksikan seorang tokoh
terpidana korupsi menjadi narasumber sebuah talkshow yang membahas arah
pembanguan. Lalu muncullah obsesi-obsesi politik komunalistik yang
hendak mengatur ruang politik publik dengan hukum-hukum
teokrasi. Di dalam keserbabolehan itulah kekuasaan politik
hari-hari ini menarik keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi berdiri
di atas politik uang dan politik ayat, kekuasaan itu kini
tampak mulai kehilangan keseimbangan. Antara tergelicir ke dalam
lumpur, atau tersesat di gurun pasir, kekuasaan itu tampak
kelelahan untuk bertahan.
Dahulu ketika serong Cicero
bernyanyi, ia merawat Republik atas nama rakyat. Ia menjadi warga sipil
pertama yang di nobatkan menjadi bapak republik ketika menyelamatkan
roma dari pengkhianatan dan pemberontakan. Mencari Cicero yang lahir
dari ibu pertiwi adalah kerjaan sia-sia dan omong kosong.
Warganegara
yang sesungguhnya pemilik republik ini di absenkan dengan pemahaman
mayoritaniarisme. Monopoli bahasa menghujam para rocker intelektual,
mengangkat para asritokrat pulas tidur malam dan menghantarkan kaum
populis di pasar jual beli politik.
Tampaknya kita telah
sampai pada suatu masa dimana utopianisme Marxis digugat, bahwa ia
terlalu yakin akan ada pemberontakan perubahan, bantahan Gramsci
terhadap Marxis menjadi nyata di negeri kita bahwa yang menggerakkan
kita akhirnya hanyalah consensus. Politk telah berpulang, kita
warganegara dikartu merah dan kita membisukan gerakan ekstraparlementer.
Lalu kita tuli akan keadilan yang tak lagi buta dan bisa memilih untuk
hukum menghukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar