Rabu, 05 Maret 2014

Opera Demonstrasi

Sekelompok orang berjingkat-jingkat sembari berteriak memberi keceman, kain panjang bertuliskan tuntutan digelar lebar. Di depan mereka sekompok manusia pongah berseragam berkecak pinggang lagak hansip hendak mementung maling, tak jarang bogem mentah siap mendarat di wajah para kelompok berjingkat. Penontong terbagi dua, yang satu menonton dari gedung berpendingin yang satu lagi mengupat hina karena hanya dirasa menambah kegaduhan

Derama jalanan yang belakangan sering terlihat, sebuah cara “rocker intelektual” menyanyikan lagu tuntutan yang diciptakan oleh rakyat. Nyanyian ini terkadang sumbang beraroma kemunafikan, terkadang hambar tanpa rasa, namun ia pernah menorehkan sejarahnya bahwa rocker ini punya masa dimana mereka pernah benar menyanyikan nyanyian soal rakyat.


Tangan terkempal menghadap kelangit sebagai simbol perlawanan, namun hanya mendapat cibiran dari orang yang merasa terganggu, atau berhadiah kepalan dari para pria berseragam dan voucer menginap gratis semalam di hotel “prodeo”. Sedangkan yang di mintai pertanggungjawaban hanya melempar senyum dari sudut jendela ruangan berpendingin dan tak jarang ditemani skretaris genit atau para penjilat menunggu jipratan rupiah dan projek.

Sebuah turbulensi dahsyat terjadi, semua kehilangan harapan atas apa yang disebut Republik, sang pengemban wakil rakyat mengalami defisit akal. dari pengemis suara rakyat saat pemilu menjadi arogansi terhadap rakyat menggadai kuasa pada praktik politik transaksional.

Pemilik kuasa penuh di negeri ini hanya sibuk mengurusi ranjang biru kantong suaranya, dan tak jarang bernyanyi melonkolis lagaknya vokalis band yang sedang ditinggal selama tiga kali lebaran tiga kali puasa. Presiden cengeng yang suka merengek hanya ada di negeri ini.

Di tengah semua turbulensi ini, harapan yang diberikan kepada gerakan ekstraparlementer hilang tak bertuan atas prilaku hypocrite peniup TOA, menuai kutukan saat dijalan dan menuai kecaman dari semua pihak dari kekisruhan yang di munculkan. zaman ternyata telah berubah para rocker ini tak lagi mendapat tempat di sisi para suporternya, dan mereka ternyata bernyanyi tanpa lirik dan nada perjuangan.

Kita semua ternyat Absen merawat Republik, sebuah warisan sejarah yang di darah demokrasinya kita suntikkan setan berjiwa koruptor, kemunafikan, dan cengeng. Konsolidasi  demokrasi memang  sudah  tertinggal  oleh  akumulasi  kekuasaan.  Enersi yang  pernah   kita  himpun  untuk  menghentikan  otoritarianisme,  tidak  lagi  cukup untuk menggerakkan  perubahan.   Tidak aneh menyaksikan seorang  tokoh  terpidana korupsi menjadi narasumber sebuah talkshow yang membahas arah pembanguan. Lalu muncullah obsesi-obsesi politik komunalistik yang hendak  mengatur  ruang  politik  publik  dengan  hukum-hukum  teokrasi.  Di  dalam keserbabolehan  itulah  kekuasaan  politik  hari-hari  ini menarik  keuntungan  sebesar-besarnya.  Tetapi  berdiri  di  atas  politik  uang  dan  politik  ayat,  kekuasaan  itu  kini tampak  mulai  kehilangan  keseimbangan.  Antara  tergelicir  ke  dalam  lumpur,  atau tersesat  di  gurun  pasir,  kekuasaan  itu  tampak  kelelahan  untuk  bertahan.

Dahulu ketika serong Cicero bernyanyi, ia merawat Republik atas nama rakyat. Ia menjadi warga sipil pertama yang di nobatkan menjadi bapak republik ketika menyelamatkan roma dari pengkhianatan dan pemberontakan. Mencari Cicero yang lahir dari ibu pertiwi adalah kerjaan sia-sia dan omong kosong.

Warganegara yang sesungguhnya pemilik republik ini di absenkan dengan pemahaman mayoritaniarisme. Monopoli bahasa menghujam para rocker intelektual, mengangkat para asritokrat pulas tidur malam dan menghantarkan kaum populis di pasar jual beli politik.

Tampaknya kita telah sampai pada suatu masa dimana utopianisme Marxis digugat, bahwa ia terlalu yakin akan ada pemberontakan perubahan, bantahan Gramsci terhadap Marxis menjadi nyata di negeri kita bahwa yang menggerakkan kita akhirnya hanyalah consensus. Politk telah berpulang, kita warganegara dikartu merah dan kita membisukan gerakan ekstraparlementer. Lalu kita tuli akan keadilan yang tak lagi buta dan bisa memilih untuk hukum menghukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar