Dimana burung Garuda dan
Pancasila? mereka bisu, mereka hanya mythologi dan kata yang
menghegemoni. Bohong. Negeri ini dibangun dengan pembangunan palsu,
semuanya palsu. Pseudo Culture, Identitas Palsu, Negara Palsu. Chaos,
titik. Kita nanti hanya akan bercerita "Dahulu kala Indonesia".
Hatta saja telah berteriak "Hanya ada satu negara yang menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu perbuatanku." Idih... manusia di negara ini berbuat apa? jawabnya adalah negara. Perbuatan korup; negara korup. Perbuatan palsu; negara palsu.
Dulunya ada Pancasila, katanya paripurna. tapi ia hanyalah kedok di balik kartel politik, tak lebih baik dari kartel narkoba. Busuk. Kemunafikan yang berbau jijik kemudian membusuk.
Garuda gagah berani, siapa bilang? Socrates saja gagal mendefenisikan "keberanian". Cicero katanya berani, alah... dia saja dibuang dari Roma, meski ia satu-satunya bapak Republik dari sipil. dia bilang "Dalam politik tidak ada kemengan kekal. hanya perguliran peristiwa tanpa sesal."
Negeri ini akan berakhir, kita hanya ada pada perguliran tanpa sesal. mereka tak akan pernah menang hanya bertarung lalu kita adalah mayat dari serdadu-serdadu pemimpin munafik. hanya konspirasi yang kekal dalam politik. dan kini kita ada dalam musim-musim politik.
Agungkan saja Machiveli, Marx, Freud, Gramsci, atau Laclau dan Mouffe. kita akan tetap berada dalam drama konspirasi. Machivelli bilang "Individu adalah aktor yang mandiri dalam politik." lalu Marx menafikkan individu selaku penyebab perubahan sosial. berteriaklah Freud di psikoanalisa individu sebagai aktor mandiri adalah ilusi. Kalau kata Laclau dan Mouffe yang terpenting adalah bagaimana individu atau aktor melakukan konstruksi dan rekonstruksi atas realitas sosial yang dialaminya.
Apapun kata mereka, lihatlah saat Cicero di elu-elukan menyelamatkan Roma, ia pikir ia menang dengan kekal. Aristokrat mengeratnya perlahan lalu hina, populis membuangnya dari keagungan republik. Lalu Aristoktrat kembali di hujam-hujam kaum populis, hilanglah keagungan bangsa Troy tinggal kepala Catalina di luar republik. Caesar memimpin kaum populis lalu berkhianat mengangkat oligarki menjadi mahkota. Tersiksalah rakyat jelata atas nama republik.
Tanya saja pada Aristoteles kenapa ia tahu siklus panggung politik. Khayalan kita tentang mitos-mitos dan cita-cita “keindonesiaan” sebagai sebuah republic of hope telah mati bersama matinya akal para penguasa republik. Mereka hanya menunggangi artikulasi, maka realitas kita hanyalah kesadaran palsu. Jika ide dasar republik adalah; warganegara yang bersatu, berkeadilan, dan kesejahteraan. jika ide itu tidak ada maka sesungguhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak pernah ada.
Hatta saja telah berteriak "Hanya ada satu negara yang menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu perbuatanku." Idih... manusia di negara ini berbuat apa? jawabnya adalah negara. Perbuatan korup; negara korup. Perbuatan palsu; negara palsu.
Dulunya ada Pancasila, katanya paripurna. tapi ia hanyalah kedok di balik kartel politik, tak lebih baik dari kartel narkoba. Busuk. Kemunafikan yang berbau jijik kemudian membusuk.
Garuda gagah berani, siapa bilang? Socrates saja gagal mendefenisikan "keberanian". Cicero katanya berani, alah... dia saja dibuang dari Roma, meski ia satu-satunya bapak Republik dari sipil. dia bilang "Dalam politik tidak ada kemengan kekal. hanya perguliran peristiwa tanpa sesal."
Negeri ini akan berakhir, kita hanya ada pada perguliran tanpa sesal. mereka tak akan pernah menang hanya bertarung lalu kita adalah mayat dari serdadu-serdadu pemimpin munafik. hanya konspirasi yang kekal dalam politik. dan kini kita ada dalam musim-musim politik.
Agungkan saja Machiveli, Marx, Freud, Gramsci, atau Laclau dan Mouffe. kita akan tetap berada dalam drama konspirasi. Machivelli bilang "Individu adalah aktor yang mandiri dalam politik." lalu Marx menafikkan individu selaku penyebab perubahan sosial. berteriaklah Freud di psikoanalisa individu sebagai aktor mandiri adalah ilusi. Kalau kata Laclau dan Mouffe yang terpenting adalah bagaimana individu atau aktor melakukan konstruksi dan rekonstruksi atas realitas sosial yang dialaminya.
Apapun kata mereka, lihatlah saat Cicero di elu-elukan menyelamatkan Roma, ia pikir ia menang dengan kekal. Aristokrat mengeratnya perlahan lalu hina, populis membuangnya dari keagungan republik. Lalu Aristoktrat kembali di hujam-hujam kaum populis, hilanglah keagungan bangsa Troy tinggal kepala Catalina di luar republik. Caesar memimpin kaum populis lalu berkhianat mengangkat oligarki menjadi mahkota. Tersiksalah rakyat jelata atas nama republik.
Tanya saja pada Aristoteles kenapa ia tahu siklus panggung politik. Khayalan kita tentang mitos-mitos dan cita-cita “keindonesiaan” sebagai sebuah republic of hope telah mati bersama matinya akal para penguasa republik. Mereka hanya menunggangi artikulasi, maka realitas kita hanyalah kesadaran palsu. Jika ide dasar republik adalah; warganegara yang bersatu, berkeadilan, dan kesejahteraan. jika ide itu tidak ada maka sesungguhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak pernah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar