Sayang…Saat ini aku sedang kepanasan, di kamar gudang tanpa AC dan Kipas.
AC memang tak layak untukku karna ia milik para cukong atau pejabat.
Begitu juga dengan kipas bermotor. Tak bisa ia nangkiring di kamar gudang ini.
Sayang…
Masih ingat dengan kedai kopi di sudut jalan ini.
Kedai kopi tempat kita mencracau tentang kekesalan terhadap malang
Bersama malam aku menantimu disini
Meski tak mungkin aku tetap menunggu dari petang
Sayang…
Aku juga menunggu hingga larut
Ingin menengok bahasa malam yang katanya carut marut
Ada manusia dan ramai
Ada yang yang sendiri, malang, bahagia, dan damai (tampaknya…)
Sunyi… sayang…
Kini sunyi menjadi temanku dan ini ku tunggu
Sayang di ujung jalan ini pula adalah tempat kamar gudang ini.
Menujunya maka aku memilih berjalan,
Karna supir angkot angkuh itu telah tidur bersama istri dan anaknya
Atau prempuan simpanannya, atau mungkin sedang bersama wanita “penjajah lubang”
Yang kian lama kian menjadi subur di kota penuh lubang ini.
Sayang… aku terbelalak
Di tengah kenikmatan kopi yang kita serup tiap sore meninggalkan ampas-ampas
Hitam manusia kehausan.
Mereka berjalan dan mencicipi genangan air yang sering kita jadikan mainan.
Sayang…
ingatkah kau pada air yang kini telah menjadi komoditas dan harganya
sangat mahal hingga gelandangan ini tak mampu membelinya. Yang kata
dosen mu ini privatisasi air. Kalau tak salah katamu lebih dari dua
tahun lalu ia selesaikan penelitian itu agar ia bisa jadi dosen di
tempatmu… tapi sayang…
Tulisan itu tak bisa membuat mereka meminum air bersih pemberian Tuhan.
Sayang… aku terbelalak
Di tengah kenikmatan gorang pisang yang kita kunyah bersama kopi ada sisa muntahan.
Ada manusia aku lihat mengais sampah hendak makan.
Dia lapar sayang…
Sayang… ingatkah kau pada nasi dan makanan yang sering tak kita habiskan,
bahkan kita tertawa pada bulir-bulir nasi yang menangis…
dan kini ada yang tak makan sayang…
Sayang… aku terbelalak
Setumpuk
keluarga lengkap, Seorang Ayah, Ibu, dan dua anak perempuan sedang
tertidur pulas di emperan toko yang tiap hari kita lalui dan kita injak,
dan kita ludahi
sayang sekrang mereka tidur di atas ludah-ludah pendosa kita….
Sayang…
anaknya kedinginan… menggigil… aku takut… aku lari… aku
tak tahu apakah anak itu akan hidup… bagaimana ia besar… mereka
tak punya rumah…
Sayang… ingatkah kau dua keluarga yang akan kita usir dari penguasa-penguasa tanah itu…
Sayang aku terbelalak
Seorang
bapak tua sedang tidur di halte yang sering kita jadikan tempat untuk
menyantap kolak durian, yang kini di depannya berdiri gedung penyembuh
masyarakat (katanya)
Tapi kini tepat dihadapnku bapak ini sedang tidur pulas tanpa rumah, apalagi tilam empuk, dan batal penopang leher.
Sayang… aku terbelalak
Seorang
nenek tua beserta suaminya sedang duduk di trotoar depan gedung yang
kata dosenmu akan mampu menyembuhkan penyakit manusia. Tak tahu akan kemana malam ini pasangan tua itu beristirahat… sayang aku
melihat mereka… aku dan kau ada di dekat mereka… tapi kita sibuk
dengan dunia kita… tumpukan kertas kita… yang katanya tumpukan kertas
itu akan menyematkan tiga huruf dibelakang nama kertas yang
katanya akan membuat kita nyaman…
Bajingan semua itu sayang… bajingan dengan semua kata mereka…
Kertas itu hanya sampah…
Ada yang tak maka
Ada yang tak punya rumah
Ada yang tak punya uang
Ada yang tak bisa makan
Ada yang tak bisa tertawa
Ada yang tak bisa bicara
Ada yang menangis
Ada yang menjerit
Menjerit ketidakadailan di muka bumi…
Ketidakadilan
Adakah Tuhan menyellimuti mereka malam ini?
Adakah Tuhan mengenyangkan perut mereka?
Adakah Tuhan menjaga mereka dari gigitan nyamuk atau serangga?
Adakah Tuhan mendengar jeritan mereka?
Adakah Tuhan menghapus air mata mereka?
Sayang katanya kau sering bertemu Tuhan…
Bahkan minimal lima kali dalam sehari…
sampaikanlah pada Tuhan apa yang malam ini terjadi…
"Tuhan peluk mereka dengan kasih dan sayang MU..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar