Selasa, 30 Desember 2014

Surat Untuk Zahra

Zahra apa kabar? Lama aku tidak berkabar padamu. Setelah sepuluh tahun terakhir, Hari ini aku beranikan diri kembali menulis surat. Karena, berita tentang peristiwa itu sering sekali muncul di media massa. Sepuluh tahun, sudah banyak yang berubah Zahra. Begitu juga dengan kampung yang selalu kau ceritakan dalam surat-surat mu.

Kau bercerita bagaimana tiap malam kau mendengar desing peluru bagai kembang api di malam tahun baru. Kau mendengar sirine ambulan bersahut sahutan dengan adzan dari meunasah, bahkan lebih dari lima kali sehari. Tak bisa kubayangkan bagaimana hidupmu di tengah perang, yang sepengetahuanku perang hanya ada di film, kalau ada pihak Amerika merekalah pemenang.

Jumat, 17 Oktober 2014

Di Masa Lalu, Kita adalah Sepasang Kekasih

kini jangan marah bila kutarik empat larik. kau nafas yang tak akan kulepas.
---Petikan "6 Sonet Bunga Tidur La Fang"---

Ini bukan cinta yang dungu,
berjam aku menunggu, tepat nya sudah 117 hari, aku menghitung lugu.
belum lagi terang mencuri pagi, sudah bersiulpun sembari mengguyur air.
dingin, menggigil tanpa ampun. tapi senang.

Kamis, 09 Oktober 2014

Spinggan

Semesta bergulir tak kenal aral
Seperti langkah-langkah menuju kaki langit
Seperti genangan akankah bertahan
Atau perlahan menjadi lautan
-banda neira hujan di mimpi-

Saat aku bertemu dengannya aku mengingatmu, maaf bukan aku mencintaimu kembali, karena kini kau sudah menjadi pohon berbunga itu, tapi aku selalu memulai banyak hal darimu dan itu sulit aku lepaskan. aku suka.

Aku datang, ke tempat di mana kau pernah ada, meski saat ini tidak lagi. aku juga tak lupa menanyakan di sebelah mana tanah kelahiran mu. kau tak penah hilang dalam banyak kisah. aku suka.

Senin, 02 Juni 2014

Rindu di Bulan Juni

Aku ingin merahasiakan rindu seperti hujan bulan juni yang tabah itu. Sapardi selalu tahu membuat para perindu untuk bisa bermain bersama hujan, dan aku tak mampu merahasikan rinduku.

Hari sudah sangat larut, aktifitas manusia sudah mulai padam, namun lampu jalan masih temaram. Langit jakarta gelap hingga bintang tak terlihat, bukan kerena kabut tapi karena polusi yang ditengarai kerakusan manusia.

Malam ini hingga tiga puluh  malam ke depan adalah malam milik bulan Juni. Juni. Angin membawa angan melayang ke bait demi bait syair Sapardi Djoko Damono yang terkenal itu. setiap Juni datang selalu ada yang membincangkannya. Syair ini akan hidup sepanjang Juni masih ada.

Rinduku pun semakin menjadi dengan gema musikalisasi Hujan di Bulan Juni. Perlahan ku ketik huruf demi huruf di telepon genggam berbaju putih ini.
  
Hujan di Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan di bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon yang berbunga itu  

     Tak ada yang lebih bijak
     Dari hujan bulan juni
     Dihapusnya jejak-jejak kakinya
     Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

Sapardi Djoko Damono, 1989

Setelah semua terketik rapi, kutekan "enter" sembari berharap syair itu sampai di gengaman mu, pesan ini ku tutup dengan "aku suka syair ini, aku kirimkan ke kamu. aku rindu."

Beberapa menit setelah itu, terdengan bunyi ping, tanda ada pesan yang datang.
"aku nggak tahan sama jarak ini, aku tak meminta banyak. hanya kamu. Ilmu yang aku punya masih sangat sedikit. Aku cuma punya keinginan yang kuat untuk jalan menuju Tuhanku, dengan menjadikanmu ladang menuju tempat terindah yg dijanjikan. sesederhana itu saja inginku."

Sulit untuk bisa membalas pesan mu, karena akupun ragu atas kemampuanku membawamu pada tempat yang telah dijanjikan Tuhan itu. Aku hanya ingin berpelukan tanpa ada celah bagi udara di sisi kita. Pelukan sekuat yang kamu bisa.

"Aku bimbing kamu untuk bermandi di bawah hujan. Hujan, kehidupan yang turun dari langit, turun ke bumi melepas bau patrichor menuai subur pada tanah, menjelma udara. Muhammad pembawa risalah keselamatan itu adalah lelaki penggemgam hujan. Hujan, seumpama wahyu yang turun dari langit."

"Aku hanya bisa membawamu menari di bawah hujan dengan genggaman tanganku. Setiap rintiknya ada dzikir kehidupan, di setiap rinainya ada harapan, di setiap gemericiknya ada asa."

"Aku hanya bisa membawa mu bermain di bawah hujan. Berenang digenangan ilmu pengetahuan. Ilmu ku sedangkal genangan air hujan di pinggir jalan yang perlahan mengalir keselokan, tak banyak menampung apapun, tapi aku bisa menggenggam tanganmu, menari di bawah hujan."

dalam hati aku berbisik meminjam kalimat "pegang tanganku, kita akan menari di bawah hujan"

*
Ah... Hujan bulan juni memang tabah, ia mampu rahasiakan rindunya pada pohon yang berbunga itu. Aku tidak, aku tidak bisa rahasiakan rinduku pada mu wahai pohon yang telah berbunga.***

Selasa, 13 Mei 2014

"Kata" dari Kamu untuk Aku

Jarak memisahkan kita dari tatapan
Jarak menghijab kita yang belum merdeka dengan kesucian. 

"Kata" ya..
"Kata-Kata" Seolah mewakili keberadaanmu, di sini. Di sampingku.

Hanya keyakinan yang kau yakini bahwa kita pernah berkenalan jauh sebelum hari ini terjadi.

Aku manangkap yakinmu menjadi yakinku yang ku hayati bersama "kata-kata" yang keluar indah dari rasa yang membingungkan.

Cuma "kata" yang membuat jarak terasa tak jauh.
Kau dekat, di sini. Di dalam hati.
oleh dia

"Kita" dari Aku untuk Kamu

Kita tak pernah bertemu, tapi kita saling merindu.
Kita tak pernah berbicara, tapi kita saling mengerti.

Kita berpelukan di awal pagi. Lalu, bercumbu di ujung malam.

Kita dua orang asing yang merasa aneh.
Kita dua orang asing yang bertegur sapa.

Kita tidak mengetahui satu sama lain, tapi kita mengenal diri masing-masing.

Kita merindu pada apa?
Kita bercumbu dengan apa?

Kita yakin. Seyakin iman tentang Tuhan.
Kita yakin. Seyakin Tuhan dengan kata. 

Kita dengan iman meyakini
Kita dengan kata merindu, bercumbu, merayu manja, memadu kasih.
Kita dengan kata berbisik "suatu saat, saat kita bersisian kita hanya perlu diam."

Kita adalah kata yang sudah ditakdirkan Tuhan.

Rabu, 07 Mei 2014

Romantisme Itu, Kita yang Ciptakan. Sayang

Kita tidak seharunya bertutur kaku saat bertemu.
Mengutuk kesal pada kondisi.
Menggrutu ketus pada kata, padahal kita sedang rindu.

Kini, rindu kita saat kita berjarak.
Besok, rindu kita saat kita bersisian

Sayang...

Aku mengutuk kata, harusnya kupeluk saja dirimu.
toh... tuan dan puan itu tau kita menyayangi

Romantisme itu, kita yang ciptakan. Sayang.

Minggu, 27 April 2014

Hujan Langit Jakarta

Saat Jakarta hujan biasanya aku pulang larut, tapi kali ini aku pulang lebih awal.
Rindu memelukmu dari belakang. Sesegera mungkin aku melaju menuju tempat mu.

Ku matikan lampu, perlahan aku memelukmu. tanpa melihatku kau berujar, katamu "kau tahu saja kalau hujan dia pulang larut" sembari menyebut sebuah nama yang bukan nama ku

Ku hidupkan lampu, kau terkejut. Menangis terisak-isak. Aku memilih keluar untuk bernyanyi sumbang, judulnya "Hujan Pengkhianatan"

Larut, di ujung malam aku pulang. Membawa ilalang tajam di tangan kiri. Kutancapkan keperutmu, ku tarik hingga terbelah.

Larut, janin mengantuk di dalamnya sedang menguap. Dengan kuku tajam ku angkut dia. Lalu ku tanya "Siapa bapak mu?"

"Aku singgah ke rahimnya (dia menunjukmu yg sdng beku) saat jakarta sedang hujan." kata janin itu mengutuk

Hingga ujung dini hari ku pisahkan jantung dari tubuh telanjangmu. Kusimpan dalam peti es yg akan ku bawa kemana aku pergi.

Hari ini jakarta sedang hujan. Aku tak khawatir pulang larut. Ku intip peti es (ada jantung yang masih berdetak)

Rabu, 23 April 2014

Tentang Nama Ku dan Bapak

Aku sedang bertanya. Saat aku menjadi Iqbal aku menjadi apa?

Nama itu Bapak yang beri. Menjadi identitas ku dari dulu hingga nanti.

Bapak, bukanlah seorang pengajar (guru). Tapi waktu aku tanya saat masih kecil apa arti nama ku, bapak bilang "artinya orang pintar," katanya sambil menggoyangkan kaki.

Aku mencintai bintang-bintang di mata yang teduh. Bisikmu "Aku kabut di kaki bukit"

Puisi #LanFang

Selasa, 22 April 2014

Tentang Kamu dan Dia

Dialog Dini Hari, bukan lagi tentang kamu.
Tapi tentang dia, Cahaya.
Cahaya yang selalu berbicara di Dini Hari.

Kamu, tentu saja bukan dia.
Dia, Tentu saja bukan kamu.

Namun,
Ceritanya sama.
Tentang Orang Aneh, Orang Asing, dan Pantai di Timur Jauh.

Di batas khayal kami tertawa
Di batas kata kami bercerita

Bedanya,
Aku pernah ketemu kamu meski di bawah hitungan jam
Aku pernah ketemu dia meski di batas khayal

Samanya,
Aku tidak pernah bertanya tentang siapa kamu dan siapa dia.

Karena kamu dan dia akan selalu hidup,
dalam peristiwa yang dicuri Ruang, dan
dalam kenangan yang dicuri Waktu.

Jakarta, 22 April (Januari) 2014

Minggu, 20 April 2014

Seperti Kamu

Kalimat Tuhan yang turun seperti cahaya, menerangi bumi memberi kehidupan. Seperti kamu, Bahasa Tuhan yang memberi Terang menyucikan Jiwa

Sabtu, 19 April 2014

Panggung Demokrasi

Roma pada tahun 75 SM, menjadi panggung berkumpulnya ide dan gagasan tentang kekuasaan, rakyat, dan Demokrasi. Tatananan politik yang memiliki wilayah, penduduk, dan pemerintahan meski saat itu belum diesebut dengan Negara. Hanya Roma. Secara berkala Roma menyediakan panggung, bagi para Aristokrat, Pengacara, dan Militer untuk berorasi. Mulai terbit matahari hinga terbenam proses demokrasi berkangsung, dimulai untuk memilih Senator, Triumphus, Daerah Perwakilan Roma di wilayah lain (Gubernur) bahkan Menteri pada saat itu juga dipilih secara langsung (referendum). Panggung Roma ini tak sekedar riuh dengan politik seremonial. Panggung demokrasi roma tak pernah meninggalkan gagasan layaknya panggung Palistra Socrates di Athena. Penuh gagasan membangun Roma, memperluas wilayah kekuasaan, pengaturan hukum baru, kepemilikan atas tanah, aturan pajak, bahkan ide republik muncul dari panggung ini.
 
Saat itu muncul seorang tokoh bernama Cicero, orang pertama yang mendapat gelar Sang Republik. Cicero yang bukan dari kalangan Aristokrat Roma diangkat menjadi Sang Republik. Ide menjadi republik sebagai kedudukan tertinggi dan terhormat yang tadinya ditempati oleh seorang Triumphus (jendral menang perang), kini di tempati oleh seorang sipil bernama Cicero dengan gagasan menyerahkan kepemilikan tanah secara utuh kepada rakyat, bukan hanya milik aristocrat. Dan akhirnya Cicero berhasil menyedot perhatian masyarakat Roma saat berhasil meenggagalkan kudeta militer dan tetap mempertahankan Roma sebagai sebuah republik.

Kamis, 10 April 2014

Red Capitalism; Kapiltalisme yang Dipimpin Negara


Seperti biasa, masa pemilu dipenuhi dengan hingar bingar politik, saling mengkritik lawan sesuai dengan tujuan politik masing-masing. Sayangnya, dialog berdemokrasi miskin akan dialog yang memberikan pandangan terhadap kondisi ke-Indonesia-an. Sibuk merebut kuasa dengan kata mencintai negeri, namun lupa merawatnya untuk tetap kita sebut Republik Indonesia.

Ada topik kritik menarik yang sebenarnya muncul dalam pesta demokrasi kali ini. Namun, kritik ini hanya untuk serangan lawan politik, bukan berdasar pada kritik membangun negeri. Kritik ini berisikan kebijakan perokonomian Indonesia pada masa pemerintahan Megawati, sebuah ketakutan akan terulang kembalinya berbagai macam privatisasi. Mulai dari Privatisasi satelit Komunikasi hingga privatisasi air. 

Privatisasi; Pemangkasan Peran Negara
Tak sesuai dengan citra Megawati dengan PDIP-nya, partai yang dibangun sebagai partai “wong cilik” dengan “merah” sebagai simbolnya. Merah identik sekali dengan sosialis atau komunis layaknya Rusia, China dan Korea Utara, dimana kewenangan perekonomian secara penuh dimiliki oleh Negara, Negara adalah alat kuasa untuk menentukan arah kebijakan ekonomi secara penuh, hingga kepemilikan adalah milik Negara. Harga tidak ditentukan oleh pasar tapi Negara. Lalu, privatisasi adalah sebuah model menswastakan milik Negara, memberikan kewenangan kepada pasar untuk berkuasa secara penuh dalam memainkan perekonomian sebuah Negara. 

Kamis, 06 Maret 2014

Petikan Novel Kabut

Ini petikan dari novel yang tidak pernah ada, dan tidak pernah tertulis.
---***---
"Jangan kirim pesan lagi, kau tahu pasti kita tidak akan seperti dulu. situasi memaksa kita unruk berubah. jadi tolong jangan paksakan dirimu. jangan paksakan aku"

"Nanti akan ada yang menemani senja pulang, hingga gelap menjadi teman. lalu hujan turun bersama Tuhan. warisan purbakala itu kita simpan saja untuk sang Hujan.

Kali ini hujan tak turun dari awan yang mengubah diri. Tapi dari kita yang bedetup nada jantung seirama. Lalu kita kuyup dalam sakitnya diam.
*
"Hey, tampaknya kau obsesif kompulsif terhadap kabut" / "hmmm, tidak. Kabut itu juga dari awan, yang turun perlahan di saat dini hari. Ia turut menghantar sang matahari terbit. bukannya endeless conversation ini tentang menjmput dan menghantar matahari?"
 *

Susuran Sunyi

Aku menyusuri jalan sunyi itu, sedikit bergelombang dan berbatu. Ilalang menghiasi sisi-sisinya, jauh...

Aku melintasi setiap jengkalnya. Sambil berharap kau melintas dan melempar senyum.

Rasanya aneh aku merindu dan menggila.

Jarak dan jauh tak menjadi pertimbangan. Yg aku lihat hanya harapan atas senyummu.

Sunyi jalan aku telusuri, hanya gedung bronggok tanpa bersuara.

Aku menoleh punuh harap. Saat cinta berharap senyum.

Layak gila... Gelembung menguap. Ha... Ha... Ha... Apa kata senja, mereka tertawa.

Dingin mengadu suara, menggigil pada rindu aku tersenyum

Ini Malam di Kota ku Sayang

Sayang…Saat ini aku sedang kepanasan, di kamar gudang tanpa AC dan Kipas.
AC memang tak layak untukku karna ia milik para cukong atau pejabat.
Begitu juga dengan kipas bermotor. Tak bisa ia nangkiring di kamar gudang ini.

Sayang…
Masih ingat dengan kedai kopi di sudut jalan ini.
Kedai kopi tempat kita mencracau tentang kekesalan terhadap malang
Bersama malam aku menantimu disini
Meski tak mungkin aku tetap menunggu dari petang

Menunggu Mati

Lusuh memandang langit menunggu mati
Lemah berjalan terseok-seok menjawab tujuan
Usang memandang sengatan hati
Tak berujar degup-degup jantung menanti kafan

Telaga biru membelai mesra
sedangkan langit biru menjadi hantu

Lumut pohon bisu bertajuk
sedangkan jejak menghujam batu

Berdiri tanpa nyawa memandang langit
Aku mati pada nafas hati berjinjit
Lirih sendal jepit menopak pongah manusia kerempeng
Lusuh tulang di balut kaus putih

Aku meminta telaga biru menelanku dengan mesra
Saat rahasia langit biruh membuihku

Aku daun berguguran, menguning lalu mati
Aku pohon krontang menunggu mati

Rabu, 05 Maret 2014

Materi Resiprokal

Dunia kita hanyalah titian material

Tak ada rasa
Tak ada hati
Tak ada sensitivitas
Tak ada cinta disini

Dunia ini hanya resiprokal tanpa cinta.

Kita mencintai seorang ibu karena kita dilahirkan olehnya.
Kita menyukai makanan karena dia memberikan kenikmatan rasa.
Ada yang mencintai istri  karena ada yg di beri istri, apakah kasih sayang? apakah kepuasan?
Dunia ini hanya titian material.
Kita dianggap ada karna kita memberi.
Suatu saat tak ada lagi yang kita beri maka kita hanya daging.
Ada yang bilang masih ada nama.
Oh... Oh... Oh...
Soekarno masih ada nama karena masih dibutuhkan untuk pencarian sejarah. Jika saja soekarno hanya manusia gembel di pinggiran jalan tanpa pulang ia hanya tanah hari ini.

Dunia ini tak ada cinta.
Mencintai karena keindahan, mimpi, harapan, nilai, kenikmatan, akhirat. Cinta hanya karena...

Kita hanya bangkai hidup tanpa manfaat karna dunia ini hanya materi resiprokal.

Dengan Diam

Kita pernah bertemu dan aku hanya diam
hanya hati yang berbicara cinta dan aku diam
diam bukan emas dan aku tahu itu
tapi aku masih begitu ringkih untuk berujar satu

kini aku duduk di dinding maya
dan hati tak kunjung berjaya
sketsa-sketsa mu saja yang aku tahu
dan aku semakin rapuh

Sajak-sajak Kamu

Wajahnya bukan puisi, syair atau prosa yang melekuk menjadi bentuk. wajahmu lebih dari sekedar "kata" Damono, Ibandi, Bahkan Rumi. Ini lebih gila dari majnun yang menggilakan laila...

Lama tak saling menyapa, lalu semuanya begitu formal, melihat namamu saja aku menjadi kaku untuk menari di atas altar kata-kata untuk keakraban.

Aku berpuisi untuk untukmu dengan sajak yang aku tidak mengerti maknanya, dan apa yang ku rindu untukmu memang tak bermakna.
 

Awan yang melebur saja tak pernah marah pada hujan, dan kayu bakar tak marah pada api yang membuatnya menjadi abu begitu kata Damono menggambarkan cinta, dan saat ini aku berbicara dengan syair, izinkan wajahku menjadi wajah telaga
 

Merona saat disulut cinta, menangis saat batin kehilangan kata. kita hanya menyapa dan aku ingin lebih... 

Teman Malam

Teman malam yang paling setia adalah kenangan. Maka kucari rumahmu dalam kenangan, yang pintunya tak boleh ku ketuk. Karena kau sedang mununggu.

Menunggu ku mengetuk, meski saat ku ketuk tak akan ada pintu yang terbuka. Karena anakmu sedang menangis minta disusuin.

Waktu itu kau bilang kalau aku tak boleh lewat di depan rumahmu, karena kau akan melihatku melintas. Setiap hari di balik jendala kau menunggu, ingin memanggil tapi bisu.
*
Aku tak ingin mampir, atau melintas semenitpun. Tapi alamat mu kini ada dalam kenangan ku.

Jujur, aku rindu untuk bareng sejenak memandangmu, dengan lesung pipi, dan dagu yang indah

Nakalku berpikir, mengecup keningmu sembari mengatakan "Tuhan mendefenisikan keindahan melalui lukisan yg dinamai (lalu kusebut namamu)"

DEMOS

Presiden sekarang bingung dengan apa yang terjadi pada gelaran pemilihan pemimpin langsung di daerah. Kuantitasnya hanya menjabarkan berbagai kekacauan pemerintahan. Entah angka keberapa sudah yang menunjukkan hasil pilkadasung bukan menggelar pemerintahan yang baik, justru sebaliknya mendekam di prodeo dengan jabaran proyek-proyek pembawa mukaddimah pengadilan. Gubernur A tersangkut kasus, bupati B tersangka penyalahgunaan dana, walikota C dicopot jabatannya karena terlibat penggelembungan.

Kemarin lalu semua teriak yang “langsung” yang terbaik, sangat demokratis, karena murni kedaulatan rakyat. Saatnya rakyat turut serta menentukan nasib negaranya, saatnya rakyat berpartisipasi langsung demi kebaikannya, rakyatlah yang tau siapa yang terbaik menjadi pemimpinnya, suara rakyat adalah suara Tuhan. Sekarang, suara rakyat itu cuma suara Tuhan yang sangat sember dan tidak enak  senandungnya di berita-berita politik dalam negeri, dengungnya juga sampai ke luar negeri dan mencatat rekor dari hari ke hari. Entah Tuhan mana yang bersedia suaranya diwakili rakyat yang seperti ini, atau rakyat ini terlalu PeDe mewakili Tuhan bersuara.

T-O-P-E-N-G

Pada zaman Paleolitikum (± 30.000 tahun yang lalu), di dinding gua Trois Freses di sebelah selatan Perancis terdapat lukisan manusia berpakaian kulit binatang dan memakai topeng sedang menari, menyanyi dan memainkan instrumen. Begitulah topeng membersamai manusia, bahkan hingga mati pun topeng sering dibawa.
Tutankhamen sang Fir’aun, yang semasa hidup sibuk membaiat diri sebagai Tuhan, bertopeng ketika masuk liang lahat – mungkin ia masih berusaha mengelabui Tuhan sesungguhnya -. Ia menyembunyikan sesuatu hingga makamnya pun tak dapat disentuh, terpahat kutukan di sana “Kematian akan segera mendatangi yang menyentuh makam Pharaoh”.

Anak Jelaga Universitas

Ini kampus, semua mahasiswa, semua dosen, semua birokrasi intelektual, semua pekerja kebun, semua pembawa betor lima ribu jauh dekat, semua pedagang kaki lima, semua anak jalanan. Semua yang kusebutkan terakhir adalah yang agak istimewa… Ya, semua anak jalanan. Mereka yang berkaki jelaga, berkostum jelaga, bersuara jelaga, beransel jelaga, dan membawa jajanan jelaga.

Mereka berjelaga menyusuri lorong-lorong intelektual. Bagi semua mahasiswa, semua dosen, semua birokrasi intelektual, semua penghuni kebun binatang yang punya sedikit kuasa istimewa piramida di sini, mereka berwajah asimetris abstrak yang acak, makanya sering juga mereka seperti tak tervisualisasi dengan benar. Ada atau tiada semua di kampus sudah terbiasa atau tak sadar ada.

Kadang mereka terlalu compang camping jelaga, ransel mereka kardus jelaga dan botol jelaga, kaki jelaga mereka tidak berdecit saat menciumi batako, almamater mereka warna-warni jelaga.

Runtuhnya Sang Republik

Dimana burung Garuda dan Pancasila? mereka bisu, mereka hanya mythologi dan kata yang menghegemoni. Bohong. Negeri ini dibangun dengan pembangunan palsu, semuanya palsu. Pseudo Culture, Identitas Palsu, Negara Palsu. Chaos, titik. Kita nanti hanya akan bercerita "Dahulu kala Indonesia".

Hatta saja telah berteriak "Hanya ada satu negara yang menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu perbuatanku." Idih... manusia di negara ini berbuat apa? jawabnya adalah negara. Perbuatan korup; negara korup. Perbuatan palsu; negara palsu.

Dulunya ada Pancasila, katanya paripurna. tapi ia hanyalah kedok di balik kartel politik, tak lebih baik dari kartel narkoba. Busuk. Kemunafikan yang berbau jijik kemudian membusuk.

Garuda gagah berani, siapa bilang? Socrates saja gagal mendefenisikan "keberanian". Cicero katanya berani, alah... dia saja dibuang dari Roma, meski ia satu-satunya bapak Republik dari sipil. dia bilang "Dalam politik tidak ada kemengan kekal. hanya perguliran peristiwa tanpa sesal."

Opera Demonstrasi

Sekelompok orang berjingkat-jingkat sembari berteriak memberi keceman, kain panjang bertuliskan tuntutan digelar lebar. Di depan mereka sekompok manusia pongah berseragam berkecak pinggang lagak hansip hendak mementung maling, tak jarang bogem mentah siap mendarat di wajah para kelompok berjingkat. Penontong terbagi dua, yang satu menonton dari gedung berpendingin yang satu lagi mengupat hina karena hanya dirasa menambah kegaduhan

Derama jalanan yang belakangan sering terlihat, sebuah cara “rocker intelektual” menyanyikan lagu tuntutan yang diciptakan oleh rakyat. Nyanyian ini terkadang sumbang beraroma kemunafikan, terkadang hambar tanpa rasa, namun ia pernah menorehkan sejarahnya bahwa rocker ini punya masa dimana mereka pernah benar menyanyikan nyanyian soal rakyat.

Menanti Kejenuhan Indonesia

Sang demonstran (Soe Hok-Gie) hanya mengerti tentang revolusi, perubahan dan perbaiakan, tanpa pandangan pragmatis, khayalan kekuasaan dan kesenagan pribadi. Dengan nama rakyat memungut jiwa-jiwa yang terserak dalam barisan perjuangan kemerdekaan atas penjajahan bangsa sendiri.

 “Jika rakyat Indonesia terlalu melarat secara natural mereka akan melakukan perlawanan, dan jika hal tersebut terjadi maka chaos lah yang akan terjadi.  maka biarlah mahasiswa yang bergerak karena kita memang diciptakan untuk tahan terhadap tekanan”

Pernyataan ini tercetus pada tahun 1966, dimana gejolak pertikaian para penguasa berdampak pada kebijakan gila, menteri foya-foya, Sang Presiden “meng-import” istri, rakyat dijepit demi reaksi keberpihakan dan kekejaman propaganda.

Drama Ujung Kereta

Aku selalu ada di stasiun yang sama, dengan kreta yang sama di setiap senja jum'at. Mencari, siapa tahu kau ada di salah satu kursi penumpang

Drama ujung kereta di stasiun tugu, kita sajikan dengan mengulum bibir masing-masing hingga dini hari dijemput pagi

Kubawakan sebiji semangka dan pisang, "dari supermarket atau pasar?" tanyamu sambil mengacak rambut belah sampingku yg menjelang gondrong.

Dhzuhur, Ashar, & Magribh kurindukan. Setelah salam terakhir, aku memutar duduk, menghadapmu. "Do'a dulu bang" kau berujar sambil tertunduk.

Menatapmu adalah do'a dan dzikir. puja atas keindahan Tuhan yg tak terpamrih. Magribh telah datang waktu kereta untuk pulang.

Kau titikkan tangis rindu, saat bibir ku belum lepas dari keningmu. "Jum'at aku pulang, jangan khawatir." Kataku sambil mengecup kelopak matamu.

Rindu membuncah, kamis kau menyusulku dengan kereta yg sama, tapi hari itu, hari kamis tanpa jum'at.

Jum'at sore aku menyusulmu ke stasiun kereta. Tapi, dua pria menghantarku ke ruang beku yg bukan stasiun.

Kudapati kau tersenyum, dengan jilbab biru langit. Kukulum bibir mu, kukecup kening dan kelopak matamu, tapi kenapa kau diam.

Kupeluk erat, kubisikkan "di senja jum'at aku akan selalu datang menemuimu dengan kereta yang sama."

Dhzuhur, Ashar, & Magribh kurindukan. Setelah salam terakhir, aku memutar duduk, menghadapmu. Kini kau hanya tersenyum, lalu pulang.